Ari Kuncoro: Catatan Tahun Turbulens 2020

 

Ari Kuncoro: Catatan Tahun Turbulens 2020

Ari Kuncoro: Catatan Tahun Turbulens 2020

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – (28/12/2020) Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, berjudul “Catatan Tahun Turbulens 2020”. Berikut tulisannya.

“Catatan Tahun Turbulens 2020”

Tidak terasa tahun 2020 sudah hampir mencapai pengujungnya. Tahun 2020 boleh jadi akan menjadi garis pembatas antara dunia yang dikenal sebelumnya sebagai masyarakat global dan model masa datang yang belum terlalu kentara bentuknya.

Boleh jadi model mobilitas arus modal, barang, dan manusia yang selama ini menjadi ciri perekonomian dunia akan berubah. Ada dua faktor utama di balik perubahan ini. Yang sangat kentara adalah pandemi Covid-19. Namun, yang tidak kalah penting adalah perubahan hubungan AS-China yang bergerak ke arah persaingan, bahkan permusuhan.

Yang mencuat ke permukaan adalah perang dagang yang semakin sengit di masa Presiden Trump. Di balik itu adalah persaingan menjadi negara adidaya dunia. AS yang setelah runtuhnya Uni Soviet menikmati supremasi tunggal sebagai negara adidaya tunggal merasa terusik dengan kebangkitan China.

Ada yang berpendapat bahwa perang dagang memperburuk situasi krisis ekonomi dunia yang ditimbulkan oleh pandemi. Namun, ada juga pendapat yang mengatakan bahwa perang dagang untuk beberapa negara seperti China menyebabkan smoothing pada perekonomian sehingga efek kejut dari pandemi tidak terlalu parah (crash landing). Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa kali mengubah outlook perekonomian dunia dari optimistis ke pesimistis kemudian kembali ke optimistis lagi.

Hal ini terjadi karena banyak faktor yang terkait dengan ekspektasi ke depan dari masyarakat, baik produsen maupun konsumen, yang tidak dapat dideteksi dengan baik. Belum lagi berbagai pemerintah di dunia ini yang lebih mengadopsi respons fleksibel dan terukur ketimbang kebijakan drastis (babat kelor). Hal ini terlihat dari outlook IMF yang memberikan pola V dengan kontraksi pertumbuhan yang tidak terlalu dalam pada 2020 (minus 3,3 persen) dan pemulihan pertumbuhan yang cepat (6 persen pada 2021) untuk negara-negara yang tergabung dalam Emerging and Developing Asia di mana China, India, dan ASEAN-5 tergabung di dalamnya.

Sementara pola V untuk Eropa berasal dari kontraksi yang lebih dalam (minus 8,3 persen) dan pertumbuhan positif yang lebih rendah (5,2 persen).

Mencicil kontraksi

Ada pola yang menarik setelah perang dagang AS-China merebak pada triwulan III-2018. Indonesia mengalami pertumbuhan triwulan (q to q) yang negatif cukup signifikan pada triwulan IV-2017 (minus 1,71 persen), disusul sedikit perbaikan, tetapi masih negatif 0,41 persen di triwulan I-2018. Pola ini kemudian berulang pada tahun berikutnya. Pola ini terjadi lagi pada akhir 2019, perbedaannya adalah pertumbuhan lebih negatif di triwulan I-2020, yaitu pada saat pandemi sudah mulai mencekik dunia.

Di luar dampak dari kebijakan pemerintah, pola musiman ini tampaknya melakukan smoothing sehingga kontraksi tak terlalu dalam di triwulan II-2020. Seperti diumumkan BPS secara triwulanan, tak terjadi kontraksi di triwulan II, bahkan secara q to q pertumbuhan ekonomi adalah 5,05 persen walaupun secara tahunan (yoy) minus 3,49 persen. Situasi ini terjadi karena tingkat keinformalan dari perekonomian belum terlalu tinggi. Kurang lebih dari 64 persen PDB berasal dari sektor UMKM.

Keuntungan utama dari usaha kecil adalah fleksibilitas, terutama dalam menghadapi perlambatan usaha akibat guncangan ekonomi (Krasniqi dan Williams, 2020). Kelemahannya adalah masalah skala yang akan menjadi penghambat dalam ekspansi usaha.

Kompleksitas kebijakan

Secara makro dominasi dari UMKM ini akan menyebabkan adanya efek tunda pada perekonomian pada saat kontraksi perekonomian. Efek tunda ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk merancang kebijakan dengan urutan yang tepat sambil memecahkan masalah koordinasi.

Kurang lebih ada celah waktu tiga bulan dari awal perancangan pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan implementasinya. Penyerapan dana PEN juga tidak dapat sekaligus mulus. Sampai pertengahan November, jumlah terserap mencapai 58,7 persen atau senilai Rp 408,61 triliun. Yang melegakan realisasi alokasi untuk UMKM sudah mencapai 84,1 persen (Rp 96,61 triliun). Sementara itu, untuk bantuan sosial sudah mencapai 82,4 persen (Rp 193,07 triliun).

Pada saat yang sama, kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) masih memberikan ruang gerak untuk usaha kecil sehingga mengoptimalkan informalitas perekonomian pada saat diperlukan. Kendati alokasi untuk kelompok lain kebanyakan masih di bawah 55 persen, strategi ini memaksimumkan daya dorong anggaran pada saat penyerapan belum optimal serta memperpanjang ruang dan waktu kebijakan (buying time).

Seperti yang digambarkan oleh konsep Game Theory, perekonomian merupakan hasil interaksi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah. Efek tunda ini juga mensyaratkan dalam setiap kebijakan, adanya pengelolaan ekspektasi masyarakat secara baik dengan melakukan signaling sebelum kebijakan diimplementasikan. Apakah itu ekspektasi yang melihat ke depan (forward looking) maupun melakukan adaptasi secara fleksibel dengan melihat umpan balik (feedback loop), sehingga prosesnya lebih mirip yang digambarkan oleh Jovanovic (1982) sebagai matching antara berbagai alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan di mana keduanya ada dalam bentuk distribusi statistik.

Solusi dari game ini boleh jadi merupakan suatu indeterminacy sehingga memerlukan tuntunan (realigment) karena pulau-pulau ekspektasi yang ada dihadapkan pada ketidakpastian akibat pandemi. Kelompok-kelompok dalam Whatsapp telah membuat apa yang hanya dapat dibayangkan oleh Lucas pada tahun 1972 menjadi kenyataan. Berbagai kelompok masyarakat tersebut mempunyai pembentukan ekspektasi yang berbeda sehingga berbagai kemungkinan dapat terjadi seperti yang digambarkan Shea (2008) sebagai real rational expectation with indeterminacy sehingga kebijakan sering kali harus merupakan suatu spektrum dengan multitarget.

Pemerintah melakukan hal ini pertama kali pada bulan Juni dalam menyosialisasikan relaksasi PSBB dan bukan pencabutan PSBB walaupun implementasinya baru terjadi pada bulan Juli. Kemudian pada September pemerintah mendeklarasikan program vaksinasi walaupun implementasinya masih tentatif pada akhir 2020 atau pada awal 2021. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan kepada sektor UMKM menggeliat karena di sektor ini sisi permintaan dan produksi tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Wagener dan Zenker, 2020). Pemulihan ala V sektor akomodasi dan restoran yang pertumbuhan triwulanannya di triwulan III adalah 14,79 persen setelah pada triwulan sebelumnya terpuruk dengan minus 22,31 persen, didominasi oleh usaha mikro makanan dan minuman.

Contoh berikutnya yang mirip dengan strategi memecah gelombang di pantai adalah perubahan rencana libur panjang yang awalnya akan digunakan untuk membangkitkan perekonomian daerah di akhir tahun. Strategi yang baru adalah dengan membaginya menjadi dua tahap untuk mencegah penumpukan. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman libur panjang akhir Oktober yang menghasilkan tren meningkat kasus positif baru. Pasalnya, pembentukan ekspektasi antara kelas menengah dan bawah dapat berbeda seperti ditunjukkan dalam Indeks Keyakinan Konsumen (IKK).

Persepsi mengenai pengendalian pandemi memengaruhi perilaku konsumen kelas menengah dengan meningkatkan jumlah pendapatan yang ditabung. Tujuan memecah liburan panjang selain untuk alasan kesehatan adalah untuk memengaruhi ekspektasi kelas menengah atas sehingga tetap berbelanja normal. Pada saat yang sama, bagi kelompok menengah bawah, yang diharapkan adalah perekonomian yang terus menggeliat karena ini akan meminimkan peluangerjadinya PHK.

Namun, tidak ada larangan total untuk berlibur karena efek pemberitahuannya dikhawatirkan akan berdampak negatif pada PMI (purchashing manager index) sektor manufaktur dan IKK seperti yang terjadi pada bulan Oktober. Ini merupakan sinyal akan adanya PHK di masa mendatang yang membuat kelas menengah bawah menjadi konservatif dalam membelanjakan pendapatannya.

Perbaikan dan kenaikan

Dengan strategi manajemen ekspektasi di atas, variabel-variabel yang melihat ke depan sampai pengamatan terakhir pada bulan November tampak mengalami perbaikan. Salah satunya adalah indeks sisi produksi, yaitu PMI sektor manufaktur. Besaran PMI sudah kembali ke zona ekspansi mencapai 50,6 pada bulan November setelah sempat turun kembali ke 48,6 pada Oktober.

Hal ini dapat dikonfirmasi dari mulai menggeliatnya impor yang berorientasi produksi. Impor bahan baku/penolong pada November mengalami kenaikan 13 persen dibandingkan Oktober yang merupakan titik balik setelah sejak Februari secara berturut-turut terus menurun. Yang lebih menggembirakan, impor barang modal naik 31 persen.

Dari sisi konsumen, walaupun masih di bawah 100, yaitu batas antara optimistis dan pesimistis, IKK bulan November mengalami kenaikan sangat signifikan ke 92 dari 76 pada bulan Oktober. Hal ini didorong oleh indeks ekspektasi konsumen (IEK) yang membaik untuk kondisi ekonomi enam bulan ke depan walaupun untuk saat ini mereka masih pesimistis. Indeks ini naik tajam dari 106,6 pada Oktober ke 123,9 pada November. Lonjakan ini hanya mungkin terjadi jika terjadi perbaikan ekspektasi ke depan untuk semua lapisan masyarakat.

Proyeksi 2021

Dengan berbagai gambaran di atas untuk bulan November situasi tampaknya menuju ke arah yang lebih baik untuk tahun 2021, ditambah lagi dengan deklarasi bahwa vaksin akan diberikan secara gratis. IMF berani memasang angka 6,1 persen (yoy) untuk pertumbuhan tahun depan. Bank Dunia seperti biasanya lebih konservatif dan mematok angka maksimum 4,4 persen. Sementara itu, Bappenas mematok 5 persen sebagai suatu angka yang sustainable.

Berdasarkan perkembangan terakhir bulan November di atas tampaknya situasi lebih mengarah kepada optimisme. Untuk itu penulis memperkirakan pertumbuhan 2021 akan berkisar 4,8 sampai 5,1 persen.

Perkembangan makro eksternal tampaknya juga cukup bersahabat untuk mendukung skenario pertumbuhan ekonomi di atas. Selama November nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp14.100-Rp14.200. Keseimbangan ini didukung dua faktor: arus modal masuk dan surplus neraca perdagangan. Surplus neraca perdagangan sampai November sudah terjadi tujuh bulan berturut-turut. Sementara pergerakan arus masuk modal portofolio luar negeri tak lagi eksogen, tetapi melihat dari penanganan makroekonomi sekaligus kesehatan. Bagaimana vaksin akan distribusikan akan jadi elemen utama dalam manajemen ekspektasi masyarakat. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Senin, 28 Desember 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: