Ari Kuncoro: Korona dan Ketahanan Ekonomi

 

Ari Kuncoro: Korona dan Ketahanan Ekonomi

Ari Kuncoro: Korona dan Ketahanan Ekonomi

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Selasa (28/4/2020), Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, yang berjudul “Korona dan Ketahanan Ekonomi”. Berikut tulisannya.

“Korona dan Ketahanan Ekonomi”

Salah satu perkembangan menarik dalam pencegahan wabah Covid-19 adalah beberapa negara yang melakukan lockdown, seperti Spanyol dan Italia, mulai berpikir untuk melakukan relaksasi setelah mengklaim telah melihat puncak atau plateau dari jumlah kasus positif baru, meninggal, dan sembuh.

Di Spanyol, pekerja di sektor manufaktur dan konstruksi, berjumlah sekitar 300.000 orang, diperbolehkan kembali bekerja mulai 13 April lalu. Pengujian menjadi alat penting untuk mengetahui siapa yang dapat kembali bekerja, siapa yang tidak. Italia mengharapkan dapat mengakhiri lockdown April lalu. Desakan untuk membuka perekonomian terutama timbul dari perwakilan empat daerah industri di Italia Utara, tempat terparah dengan 45 persen produk domestik bruto (PDB) dihasilkan. Sementara di seberang Lautan Atlantik, di tengah pandemi yang belum mereda, Presiden AS Donald Trump merencanakan membuka perekonomian 1 Mei, walaupun kelayakan waktunya terus jadi perdebatan.

Ancaman resesi dunia

Kecenderungan itu tidaklah mengherankan karena hajat hidup orang banyak juga terancam. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi akan terjadi kontraksi pertumbuhan global minus 3 persen di 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia ini yang terburuk sejak Depresi Besar 1930-an atau bahkan lebih buruk. Beberapa negara industri akan mengalami pertumbuhan negatif: Spanyol (minus 8 persen), Italia (minus 9,1 persen), Inggris (minus 6,5 persen), Perancis (minus 7,2 persen), Jepang (minus 5,2 persen), Jerman (minus 7 persen), dan AS (minus 5,9 persen).

Paul Romer, peraih Nobel Ekonomi 2018, dalam wawancara di TV berita terkemuka AS menyarankan perlunya dilakukan penyeimbangan antara masalah kesehatan dan kemaslahatan ekonomi, seraya memperingatkan ekonomi AS akan memasuki depresi besar jika pada permulaan Mei 2020 tetap dalam situasi lockdown seperti sekarang. Dengan demikian, harus dicari cara lain yang lebih menyeimbangkan antara pemutusan rantai wabah dan menjaga momentum pertumbuhan yang diperlukan agar AS tak terperosok ke jurang depresi dengan tingkat pengangguran 30 persen, mengingat sampai pertengahan Maret jumlah aplikasi tunjangan menganggur sudah 10 juta orang.

Berbagai contoh di atas menunjukkan dilema yang dihadapi pemerintah dalam menghadapi wabah ini. Semula ada anggapan dengan lockdown, penularan akan dapat dihentikan dan perekonomian akan pulih dalam waktu relatif singkat dengan pola huruf V, apalagi dunia sebelumnya sudah diterpa perang dagang AS-China. Yang jadi masalah, lockdown yang tak direncanakan dengan baik dan terlalu lama akan membawa kerusakan bahkan kehancuran pada rantai pasokan. Banyak hal yang tak diketahui tentang virus ini untuk menduga berapa lama wabah ini akan berlangsung.

Fakta yang baru adalah mutasi virus Covid-19 menjadi tiga varian A, B, dan C. Hal lain adalah berapa proporsi populasi yang terinfeksi. Masih terbatasnya pengambilan sampel untuk dites menyulitkan untuk menduga parameter porsi populasi yang terinfeksi sehingga masih merupakan fenomena gunung es, yang terlihat hanya puncaknya. Dalam hal ini, Romer menyarankan dilakukan uji Covid-19 yang lebih luas, mengisolasi yang positif, bagi yang negatif dipersilakan bekerja. Menurut dia, dalam jangka panjang strategi ini akan lebih murah dibandingkan opsi lockdown dan perekonomian masih dapat berjalan.

Konvergensi kebijakan

Dalam wawancara yang lain, Ketua Bank Sentral AS kantor wilayah Minneapolis, Minnesota, mengatakan, harapan akan terjadinya solusi cepat sudah hampir tak mungkin mengingat banyak misteri dari wabah ini yang harus dijawab. Perang kilat (blitzkrieg) melawan pandemi sukar terwujud, yang akan terjadi adalah perjuangan yang membutuhkan kesabaran melalui perang semesta dengan semua sumber daya yang ada (all-out). Bukan lagi lari sprint 100 meter, melainkan lebih seperti lari maraton yang butuh strategi dan stamina.

Pendekatan yang akan dipakai adalah seperti tarik ulur bermain layangan: kencangkan (control) ketika kasus meningkat (flare-up), lalu kendurkan lagi ketika perekonomian hampir mati tercekik, kencangkan lagi jika kasus positif meledak lagi, lalu kendurkan lagi, demikian seterusnya sampai wabah berlalu. Hal ini dilakukan mengingat perekonomian butuh ruang dan waktu untuk bernapas sekedar untuk bertahan.

Yang menarik, terjadi semacam konvergensi dari negara yang tak memilihnya, seperti Jepang dan Swedia, dengan negara seperti Spanyol, Italia, dan Austria yang memilih lockdown total. Jepang yang semula tidak lockdown, pada 7 April sudah mengumumkan keadaan darurat kesehatan, tetapi tetap tanpa lockdown, untuk tujuh dari 47 prefektur, termasuk Tokyo dan Osaka. Pertimbangan untuk tetap tak lockdown adalah keterkaitan antara satu perusahaan, satu sektor, dengan yang lain dalam satu rantai nilai (chain value) makin meningkat seiring kemajuan ekonomi.

Ketergantungan timbal balik ini menyebabkan perekonomian akan sulit dipulihkan jika ada mata rantai yang jatuh atau dikorbankan. Hal ini bahkan berpotensi meruntuhkan seluruh mata rantai permintaan-pengeluaran masyarakat dan sisi pasokan, seperti halnya kartu domino. Waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan akan sangat lama, dikenal dengan pemulihan ala huruf L. Jepang tak lagi mengharapkan pemulihan cepat seperti huruf V, tetapi lebih dengan semboyan “tidak mengapa tak terlalu cepat, yang penting asal kelakon”, dikenal dengan pola pemulihan huruf U.

Pemulihan dan rantai pasokan

Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi besar yang dimulai pada akhir 1997 dan berlangsung sampai 1999. Pada triwulan I-1998 pertumbuhan PDB masih positif 1,08 persen, tetapi untuk ketiga triwulan berikutnya berturut-turut mencatat pertumbuhan negatif sehingga rerata untuk 1998 adalah minus 8,19 persen. Di tahun 1999, dua triwulan pertama pertumbuhan PDB masih negatif dua digit dan baru positif kembali di triwulan III dan IV sehingga rerata untuk 1999 adalah minus 4,94 persen. Dibutuhkan lima triwulan untuk pertumbuhan menjadi positif lagi dengan pola campuran antara U dan V.

Pola pemulihan ini ditentukan oleh dua sektor terbesar di dalam PDB, yaitu manufaktur dan perdagangan. Jika dilihat lebih rinci, hanya sektor perdagangan yang menunjukkan pemulihan cepat berbentuk huruf V. Sempat mengalami pertumbuhan minus 28,6 persen, tetapi dalam waktu dua triwulan sudah kembali mencatat pertumbuhan positif 1,1 persen. Hal ini terjadi karena walaupun krisisnya dalam, rantai pasokan relatif terjaga. Sektor perdagangan ritel mempunyai rantai pasokan yang didominasi entitas usaha kecil dan mikro di sektor informal. Entitas-entitas ini mempunyai jaringan lokal yang praktis hanya sedikit terpengaruh perekonomian global yang justru mampu membuatnya bertahan (Turner, 2002).

Industri manufaktur memiliki pola campuran antara U dan V dengan kecepatan pemulihan lima triwulan. Pola ini ditentukan oleh cabang industri yang terbesar, yaitu industri makanan yang didominasi UMKM serta mempunyai kaitan ke depan dengan sektor perdagangan, sekaligus kaitan ke belakang dengan sektor pertanian. Industri makanan membutuhkan hanya tiga triwulan untuk kembali tumbuh positif dengan pola V. Pola yang sama terjadi pada cabang manufaktur lain yang pada umumnya punya pola U yang pada umumnya membutuhkan waktu pemulihan lebih lama. Sebagai contoh, tekstil, yang membutuhkan waktu lebih lama, yaitu empat triwulan untuk pulih dengan pola campuran U dan V. Urutan lama pemulihan di atas mengikuti hierarki kebutuhan ala Maslow (1943), mulai dari kebutuhan pokok, pangan, kemudian sandang dan seterusnya.

Krisis keuangan global (GFC) di 2008 punya dampak cukup signifikan ke Indonesia walaupun dampak negatifnya tak seperti krisis 1998. Pertumbuhan PDB turun signifikan, tetapi masih dalam rentang positif. Penyebabnya, sebagian besar efek bonanza komoditas masih membawa momentum positif hingga 2012. Pertumbuhan PDB triwulan turun dari 6,25 persen di triwulan III-2008 menjadi di bawah 5 persen di dua triwulan pertama 2009. Pertumbuhan baru pulih di atas 5 persen pada triwulan III-2009. Sektor manufaktur ikut terimbas dengan pertumbuhan di bawah 2 persen, untuk tiga triwulan berturut-turut sejak triwulan I-2009.

Dampak GFC terhadap sektor perdagangan lebih parah. Pertumbuhan anjlok dari 5,5 persen di triwulan IV-2008 ke nol persen, bahkan negatif untuk dua triwulan berikutnya. Namun kemudian pertumbuhannya pulih dengan cepat ke 4,8 persen di triwulan III-2009. Sekali lagi sektor perdagangan menunjukkan kemampuan untuk pulih cepat ala huruf V sama seperti di krisis sebelumnya asalkan rantai pasokan dan transportasi logistik tidak terganggu.

Belajar dari pengalaman

Indonesia memilih urut-urutan penguatan habitat sisi permintaan dan penawaran masyarakat terlebih dulu, baru kemudian menuju kedaruratan kesehatan dengan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB paling sedikit meliput: peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, keramaian, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, dan pembatasan jumlah dan lalu lintas orang dengan kendaraan umum ataupun pribadi, tetapi masih mengizinkan pergerakan logistik.

Sebagai penjaga habitat PSBB, untuk menjaga daya beli masyarakat di sisi permintaan, pemerintah menyediakan Rp405 triliun untuk menanggulangi dampak Covid-19, di antaranya terdiri dari dana kesehatan Rp75 triliun, insentif perpajakan Rp70,1 triliun, dan jaring pengaman sosial Rp110 triliun, dan dukungan pembiayaan anggaran Rp150 triliun.

Relaksasi kredit UMKM yang diumumkan OJK merupakan salah satu contoh memelihara rantai pasokan. Dua skenario pemerintah tentang dampak Covid-19 terhadap perekonomian, yaitu buruk dengan pertumbuhan positif 2,3 persen, dan sangat buruk dengan pertumbuhan minus 0,4 persen, mencerminkan seberapa jauh rantai pasokan terutama di sektor informal, baik di sektor perdagangan maupun manufaktur, dapat dijaga dalam situasi kedaruratan kesehatan.

Dalam kebijakan publik sangat penting mengetahui respons dan motivasi dari pihak yang akan terkena kebijakan dalam perencanaan kebijakan. Bahwa PDB dan juga lapangan kerja di Indonesia sebagian besar ditopang oleh sektor informal adalah fakta. Dalam krisis 1998, ketika sektor korporasi berjatuhan, mereka tetap bertahan karena memang hanya dengan bertahan mereka dapat melanjutkan penghidupan.

Sektor informal inilah yang berperan sebagai penyangga pemulihan pada masa-masa setelah krisis sebelum akhirnya bonanza komoditas mengangkat Indonesia kembali. Pembuat kebijakan harus memahami bahwa rancangan kebijakan harus sesuai naluri dasar mereka, yaitu tetap bertahan hidup. Tanpa itu, kebijakan akan mempunyai kredibilitas rendah.

Seperti halnya setiap kebijakan, akhirnya yang diperlukan adalah koordinasi dan implementasi sehingga perlu petunjuk teknis dan pelaksanaan untuk pelaksana di lapangan. Selain itu, kredibilitas PSBB ditentukan oleh koordinasi dan kerja sama berbagai pihak terkait, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, hingga daerah. Hanya dengan ini pemutusan rantai penularan wabah dan pemulihan ekonomi paling tidak akan terjadi seperti huruf U, atau campuran antara U dan V, bukan seperti pola L.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 28 April 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: