Ari Kuncoro: Krisis Rusia-Ukraina dan Deglobalisasi

 

Ari Kuncoro: Krisis Rusia-Ukraina dan Deglobalisasi

Krisis Rusia-Ukraina dan Deglobalisasi

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor UI dan Guru Besar FEB UI

 

KOMPAS – (8/3/2022) Dalam waktu sepekan, serangan Rusia ke Ukraina telah mengubah apa yang dikenal selama ini sebagai perekonomian global. Globalisasi telah memungkinkan terjadinya pembagian kerja di antara negara-negara di dunia yang menekan biaya produksi global.

Negara-negara sekutu Barat melakukan strategi sanksi ekonomi untuk mengucilkan Rusia dari perekonomian global. Dalam matematika dikenal istilah keseimbangan lokal yang stabil, tetapi secara dinamis belum tentu akan bertahan jika terdapat kejutan yang cukup besar terhadap sistem (Chiang, 2004). Buku The Great Reversal (Goodhart dan Pradhan, 2019) memprediksi bahwa tidak ada pesta yang tidak berakhir.

Buku ini menyampaikan pesan bahwa deglobalisasi dengan turunannya, seperti inflasi, perlambatan pertumbuhan produktivitas, serta pengangguran, akan kembali sebagai keseimbangan baru.

Dengan kata lain, globalisasi kemungkinan besar adalah fenomena multiple equilibria. Akselerasi globalisasi terjadi setelah Perang Dingin antara negara-negara Barat dan blok Timur dengan berakhirnya Uni Soviet pada 1990. Walaupun tidak sedikit yang gagal, banyak negara memanfaatkan globalisasi untuk menciptakan pertumbuhan yang tinggi, inflasi yang terkendali, dan pengangguran yang rendah.

Perang dagang AS-China pada masa pemerintahan Presiden Trump, pandemi Covid-19, dan konflik Rusia-Ukraina yang dimulai 25 Februari lalu membuat dunia mencari strategi baru untuk berjaga-jaga jika keseimbangan bergerak kembali ke arah deglobalisasi.

Hal lain yang harus diwaspadai adalah point of no return. Konflik ini punya risiko benturan langsung di antara negara adidaya yang dapat membawa ke arah situasi MAD (mutually assured destruction), satu istilah dari Perang Dingin tahun 1950 sampai 1980-an. Sistem aliansi banyak membawa negara-negara yang sebenarnya tidak punya urusan langsung terjun ke dalam konflik.

Barbara Tuchman, pemenang hadiah Pulitzer dua kali, melalui buku The Gun of August, menceritakan situasi pada bulan-bulan pertama Perang Dunia I tahun 1914. Risiko ini tampaknya juga disadari oleh negara-negara dalam aliansi NATO. Oleh karena itu, satu per satu menyatakan secara terbuka tidak akan menerjunkan pasukan ke Ukraina.

Bagi Indonesia, transmisi inflasi global ke perekonomian dalam negeri adalah melalui harga minyak dan gas, komoditas pertanian, termasuk agri bisnis serta berbagai bahan baku, penolong, dan barang setengah jadi yang digunakan industri. Konflik menambah tekanan inflasi global yang sudah ada karena Rusia termasuk produsen energi fosil terbesar dunia, dengan pangsa pasar dunia kira-kira 10 persen untuk minyak mentah dan 17 persen untuk gas alam.

Risiko geopolitik tampaknya telah terbaca oleh bursa berjangka komoditas internasional. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) adalah salah satu contohnya. Pergerakan harga dari 68 dollar ke 80 dollar AS per barel didasarkan persepsi tentang pemulihan ekonomi dunia. Sementara dari 80 dollar ke 90 dollar AS adalah karena premium risiko geopolitik dengan peningkatan ketegangan pra-invasi ke Ukraina. Sisanya dari 90 dollar ke 110 dollar AS disebabkan pecahnya konflik bersenjata.

Dampaknya ke Indonesia terlihat dari perbedaan harga BBM dan elpiji non subsidi yang mendorong substitusi ke produk-produk yang disubsidi. Dampak terbesar berikutnya pada harga pangan dunia. Ukraina adalah penghasil gandum yang dijuluki gudang roti dunia dengan pangsa pasar 25 persen. Bersama Rusia, menghasilkan 30 persen dari pasokan dunia.

Akibat konflik dan sanksi ekonomi, terjadi kenaikan harga gandum tertinggi sejak 2008. Dalam waktu seminggu setelah invasi, harga sudah melonjak 40 persen. Yang paling menderita adalah negara-negara yang mengandalkan gandum sebagai bahan pangan utama, terutama di Afrika utara.

Situasi yang penuh ketidakpastian ini menyebabkan timbulnya perilaku menimbun. Beberapa negara dengan makanan pokok hasil olahan dari gandum sibuk membeli gandum baik pada pasar spot maupun future untuk memperkuat cadangan strategisnya. Kenaikan harga ini juga menjalar ke produk-produk pangan yang lain, baik melalui efek substitusi/komplemen `maupun karena spekulasi di bursa berjangka komoditas dunia.

Gandum juga digunakan untuk pakan ternak. Kenaikan harganya mendorong substitusi ke kedelai sehingga harga kedelai ikut naik. Kenaikan harga daging dan kedelai bahan tahu tempe baru-baru ini merupakan dampak situasi geopolitik di Eropa. Selain itu, gandum dan kedelai juga merupakan feedstock untuk bioenergi sehingga ikut menambah kompleksitas transisi ke arah energi terbarukan.

Dengan tekanan inflasi global di atas, publikasi Badan Pusat Statistik menunjukkan, inflasi Indonesia masih merayap dengan deflasi 0,02 persen pada Februari. Namun, dengan pemulihan ekonomi, mendekatnya bulan puasa dan Lebaran, juga inflasi global akibat konflik di Eropa, inflasi diperkirakan akan semakin mendekati inflasi jangka panjang Indonesia yang berkisar di angka 3 persen.

Implikasi

Ungkapan bijak crisis begets reforms jadi relevan untuk menyikapi krisis geopolitik di Eropa ini. Di masa lalu Indonesia menggunakannya untuk melakukan transformasi struktural. Kenaikan harga minyak di tahun 1970-an akibat konflik di Timur Tengah telah menghasilkan restrukturisasi perekonomian ke arah sektor-sektor non migas, seperti manufaktur padat karya dan jasa.

Pandemi dan krisis geopolitik di Eropa saat ini telah membawa dunia lebih ke arah deglobalisasi. Namun, belum diketahui apakah ini fenomena permanen atau sementara. Meminjam istilah GameTheory, dalam situasi transisi yang belum jelas end game-nya, kebijakan yang optimal adalah strategi bauran (mixed strategy).

Indonesia tidak dapat memalingkan diri dari ekonomi global karena pandemi memberikan kesempatan untuk masuk lebih dalam ke rantai pasokan internasional (ekspor). Pada saat yang sama, Indonesia harus menjaga pertumbuhan dan mengendalikan inflasi dengan memperkuat produksi dalam negeri melalui prioritas pertanian dan industri turunannya serta energi melalui penggunaan sumber energi terbarukan.

Seperti yang terlihat dari pola pemulihan dari triwulan I sampai triwulan IV-2021, dengan disiplin protokol kesehatan, dari sisi permintaan Indonesia dapat memanfaatkan kelas menengah yang pola belanjanya semakin terkuak akibat pandemi, yaitu ke arah sektor-sektor berbasis mobilitas, seperti perdagangan, pariwisata, akomodasi, dan relaksasi keluarga. Semua ini punya daya ungkit dan kaitan dengan UMKM.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 8 Maret 2022. Rubrik Analisis Ekonomi-Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: