Bencana di Puncak Bonus Demografi

 

Bencana di Puncak Bonus Demografi

Bencana di Puncak Bonus Demografi

 

DEPOK –  Sabtu, (11/07/2020) Media daring kompas.id, pada kanal Kolom Pendidikan dan Kebudayaan, memuat wawancara dengan Turro S. Wongkaren, Ketua Lembaga Demografi FEB UI, dalam tulisan  “Bencana di Puncak Bonus Demografi“. 

Bencana di Puncak Bonus Demografi

Bonus demografi yang harusnya ada di depan mata, di tahun 2021, kian sulit diraih karena pandemi. Meski kecil, peluang untuk menjadi negara kaya itu masih ada bila diikuti upaya bersama-sama.

Salah satu prasyarat tercapainya bonus demografi adalah tersedianya lapangan kerja berkualitas. Pandemi Covid-19 yang terjadi setahun jelang puncak bonus demografi membuat harapan memetik bonus makin suram.

Proyeksi Penduduk Indonesia 2015-2045 menyebut puncak bonus demografi Indonesia akan berlangsung pada 2021-2022. Saat itu, 100 penduduk produktif berumur 15-64 tahun hanya akan menanggung hidup 45,4 penduduk tidak produktif yaitu anak-anak (<15 tahun) dan lansia (>65 tahun).

Secara nasional, Indonesia memasuki era bonus demografi sejak 2012 dan diprediksi berakhir tahun 2037. Bonus demografi adalah periode saat tanggungan 100 penduduk produktif terhadap penduduk tidak produktif suatu negara dibawah 50. Artinya, 100 penduduk produktif hanya menanggung beban kurang dari 50 orang.

Kondisi itu adalah potensi besar bagi suatu negara untuk melompat menjadi negara kaya akibat kecilnya beban yang ditanggung. Peristiwa ini hanya terjadi sekali dalam sejarah suatu bangsa. Namun untuk bisa mendapatkan bonus itu dibutuhkan sumber daya manusia yang baik, lapangan kerja berkualitas, masuknya perempuan di pasar kerja dan besarnya tabungan masyarakat.

Namun pandemi Covid-19 yang berlangsung di Indonesia sejak Maret 2020 membuat impian Indonesia untuk mencapai bonus makin sulit. Sebelum pandemi terjadi, banyak ahli kependudukan sudah menyangsikan kemampuan Indonesia mendapat bonus tersebut. Pandemi membuat ancaman tak tercapainya bonus demografi makin nyata.

Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2020 yang diumumkan Februari 2020, sebulan sebelum kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan, Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja sebesar 137, 91 juta orang atau setara dua kali penduduk Thailand, lebih empat kali penduduk Malaysia dan hampir 24 kali penduduk Singapura. Dari angkatan kerja sebanyak itu, 131,03 juta orang bekerja dan 6,88 juta menganggur.

Covid-19 mengubah semunya. Pada Juni 2020, Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) memperkirakan ada 1,7 juta pekerja kehilangan pekerjaannya. Jumlah itu masih bisa bertambah 2,92-5,23 juta hingga akhir tahun ini. Sedangkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyebut ada 6,4 juta pekerja menganggur gara-gara korona.

Sementara proyeksi Center of Reform on Economics Indonesia menyebut dengan pertumbuhan ekonomi Triwulan I 2020 sebesar 2,97 persen, maka penganggur di bulan April-Juni bisa bertambah 6-9 juta orang. (Kompas, 20 Juni 2020)

“Pertumbuhan ekonomi di Triwulan II 2020 diperkirakan minus 7 persen hingga minus 3 persen,” kata Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LDUI) Turro S Wongkaren, Kamis (9/7/2020). Dengan minusnya pertumbuhan ekonomi, dipastikan jumlah penganggur akan bertambah besar.

Semua jumlah penganggur itu belum memperhitungkan pekerja nonformal yang porsinya jauh lebih besar dibanding pekerja formal. Hantaman korona pada pekerja informal tak kalah dahsyat. Terlebih banyak diantara pekerja nonformal yang mengandalkan pendapatan hari ini untuk hidup esok hari.

Belum lagi ditambah pekerja migran Indonesia, baik yang legal maupun ilegal, yang terpaksa harus balik ke Indonesia akibat terbatasnya pekerjaan di berbagai negara tujuan pekerja migran yang juga terdampak korona. Kembalinya mereka ke daerah asalnya atau menetap sementara di daerah perbatasan akan makin membebani daerah.

Studi Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan Kemnaker, dan LDUI pada 24 April-2 Mei 2020 memperkirakan akan ada 25 juta penganggur baru akibat terhentinya usaha dan tidak adanya pekerjaan bagi pekerja bebas dalam 2-3 bulan sejak studi. Jumlah penganggur itu terdiri atas 10 juta pekerja mandiri atau berusaha sendiri dan 15 juta orang pekerja bebas atau pekerja keluarga.

Lonjakan penganggur menjelang puncak bonus demografi itu tentu menyedihkan bagi Indonesia. Pasokan tenaga kerja produktif yang melimpah justru tidak bisa terserap pasar atau tidak bisa berusaha mandiri akibat pandemi Covid-19 yang belum jelas sampai kapan akan berakhir. Meski pemerintah telah menyiapkan kenormalan baru untuk mengatasi dampak ekonomi dan kesehatan akibat korona, hal itu bukan otomatis akan langsung menghidupkan kembali dunia usaha.

Tingginya pengangguran itu otomatis akan meningkatkan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin yang pada September 2019 mencapai 9,22 persen diperkirakan akan naik jadi 10,86 persen pada tahun ini. Kemiskinan itu akan makin mempersulit investasi sumber daya manusia, menekan masuknya perempuan ke pasar kerja, hingga menahan masyarakat menabung. Bahkan, tabungan yang ada pun semakin tergerus untuk menutupi kebutuhan hidup selama pandemi.

“Kesempatan Indonesia untuk memetik bonus demografi makin kecil. Tanpa Covid-19 pun, upaya Indonesia untuk mengejar bonus demografi tak maksimal,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli dan Pemerhati Demografi Indonesia (IPADI) Sudibyo Alimoeso dalam webinar Sabtu (13/6/2020).

Usaha berbasis keluarga

Mengaitkan dengan peringatan Hari Kependudukan Dunia yang diperingati tiap 11 Juli, lonjakan pengangguran dan terbatasnya lapangan kerja berkualitas itu perlu jadi perhatian serius semua pihak. Jika Indonesia gagal meraih bonus demografi, Indonesia bisa masuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah atau sulit menjadi negara kaya.

Di tengah sulitnya lapangan kerja, menghidupkan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) sering dianggap sebagai solusi. Berkaca pada krisis ekonomi 1998, UMKM jadi penyelamat ekonomi masyarakat. Meski harga-harga saat itu melambung tinggi, daya beli masyarakat tetap ada karena masyarakat masih bisa bebas bergerak di luar rumah.

Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan, Amalia Adininggar Widyasanti dalam webinar Kamis, (9/7/2020) memperkirakan dampak krisis kesehatan pada ekonomi dan sosial tahun 2020 ini akan lebih parah dibanding krisis 1998 dan krisis 2008. “Situasi krisis yang tidak terduga membuat dampak sosialnya akan lebih terasa dibandingkan krisis sebelumnya,” katanya.

Krisis akibat Covid-19 ini berbeda. Menjadikan UMKM atau usaha keluarga sebagai solusi masih menjadi perdebatan karena banyak UMKM yang sudah eksis pun ikut terdampak korona. Pembatasan sosial dan jaga jarak yang diberlakukan sebagai protokol kesehatan pencegah penyebaran korona,  membuat masyarakat tidak bebas bergerak hingga banyak UMKM harus berjuang sekedar bertahan hidup.

Situasi itu akan membuat UMKM yang tumbuh akan sangat terbatas dan spesifik. Perubahan perilaku konsumsi dan pengeluaran keluarga perlu disikapi pelaku usaha secara serius. Produk yang dijual maupun modal bisnisnya pun perlu menyesuaikan dengan batasan dan situasi yang ada.

Meski sulit, bukan berarti itu tidak bisa dicoba. Nyatanya, survei Divisi Ilmu Konsumen dan Ekonomi Keluarga (IKEK), Departemen Ilmu Konsumen dan Keluarga (IKK), Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan ada 3,6 persen responden mengaku pendapatan mereka justru meningkat selama pandemi. Peningkatan pendapatan itu dicapai melalui wirausaha.

“Mereka mampu menangkap peluang dengan menambah pekerjaan sebagai wirausaha saat pandemi, ” kata Kepala Divisi IKEK, Departemen IKK, IPB, Lilik Noor Yuliati dalam webinar Kamis (18/6/2020).

Wirausaha rumahan secara daring bisa menjadi solusi untuk meningkatkan pendapatan keluarga. Bisnis daring memiliki risiko relatif kecil, khususnya jika hanya menjadi penjual barang orang lain (reseller), waktu kerja bebas, biaya operasional murah, modal relatif kecil, dan bisa menjangkau pasar yang luas. Namun, wirausaha daring perlu memiliki keterampilan terkait teknologi internet maupun media sosial.

Sejumlah ide bisnis daring yang bisa dipilih di era kenormalan baru itu, lanjut Lilik, antara lain penjualan makanan beku, sayur buah atau makanan siap saji; alat sanitasi, pelindung diri, dan vitamin hingga jamu. Selain itu juga memberikan jasa berupa bimbingan belajar atau pelatihan kompetensi secara daring, hingga konsultasi daring.

KOMPAS/MELATI MEWANGI

Tampilan layar salah satu platform dagang daring yang menjual produk UMKM. Sejumlah masyarakat memilih belanja daring untuk menghindari interaksi dan bertemu dengan orang lain.

Pengembangan usaha berbasis keluarga ini, bisa sekaligus dimanfaatkan untuk membangun gerakan kembali ke keluarga, membuat keluarga memiliki daya lenting tinggi dan mampu beradaptasi terhadap Covid-19. “Keluarga yang berketahanan dan produktif akan jadi pemenang untuk memetik bonus demografi,” kata Sudibyo.

Selain ekonomi keluarga, budaya gotong royong dan kepedulian sosial perlu terus diperkuat. Menurut Turro, budaya saling membantu, baik dalam keluarga besar atau dalam masyarakat umum, bisa menjadi penopang dari program jaring pengaman sosial yang dilakukan pemerintah. Gotong royong ini pula yang jadi kekuatan besar Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Penyiapan tenaga kerja yang berkualitas juga tidak boleh lengah hingga saat ekonomi mulai bergerak, sudah tersedia tenaga kerja yang memiliki kompetensi sesuai kebutuhan industri. Semangat kartu prakerja yang sejatinya disiapkan untuk menghadapi bonus demografi perlu dikembalikan arahnya hingga benar-benar membekali calon tenaga kerja dengan kompetensi yang dibutuhkan industri.

Meski saat ini pelatihan teknis (hard skill) dengan tatap muka langsung masih terbatas, pelatihan bisa diarahkan sementara untuk meningkatkan kompetensi lunak (soft skill) calon pekerja, seperti kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, etika kerja, hingga bahasa Inggris. Persoalan kompetensi lunak itu hingga kini masih jadi hambatan investasi di Indonesia.

Setelah itu, pelatihan juga perlu diarahkan untuk menyiapkan pekerja Indonesia memasuki era Industri 4.0. Pelaksanaan bekerja dari rumah (work from home) akan makin mempercepat penerapan Industri 4.0. Meski saat ini sudah tersedia berbagai pelatihan teknologi informasi tingkat tinggi, seperti rekayasa perangkat lunak, kecerdasan buatan atau analisis data, pelatihan teknologi informasi dasar seperti penggunaan Excell tetap diperlukan karena keberagaman pengetahuan masyarakat.

Bukan hanya pengetahuan masyarakat yang beragam, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Hasto Wardoyo dalam webinar, Rabu (10/6/2020) juga mengingatkan beragamnya kondisi kependudukan dan transisi demografi di setiap daerah.

Saat ini, sejumlah provinsi, sudah menikmati bonus demografi seperti DI Yogyakarta, Jawa Timur dan Bali. Namun masih banyak provinsi yang masih dalam tahap awal transisi demografi akibat masih besarnya porsi penduduk usia muda, seperti di Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Sulawesi Tengah.

Karena itu, kebijakan yang diambil di setiap kabupaten/kota dalam mengelola penduduk menghadapi bonus demografi nasional itu bisa beragam, tergantung kondisi masing-masing daerah. “Kesenjangan kondisi kependudukan itu menuntut perhatian dan kebijakan pemerintah daerah yang berbeda-beda,” katanya.

Kebijakan yang tepat itu membuat potensi penduduk yang ada bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk mendukung upaya pencapaian bonus demografi. Meski sulit, usaha apapun tetap diperlukan agar bonus demografi ini tidak berubah menjadi bencana demografi bagi Indonesia.(hjtp)

Sumber : https://www.kompas.id/baca/dikbud/2020/07/11/bencana-di-puncak-bonus-demografi/?utm_source=bebasakses_kompasid&utm_medium=whatsapp_shared&utm_content=sosmed&utm_campaign=sharinglink

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: