Bincang Sore #2 Dies Natalis FEB UI: LM FEB UI, Perkembangan Riset LM terkait BUMN, Korporasi Terbuka, dan Climate Change

 

Bincang Sore #2 Dies Natalis FEB UI: LM FEB UI, Perkembangan Riset LM terkait BUMN, Korporasi Terbuka, dan Climate Change

Bincang Sore #2 Dies Natalis FEB UI: LM FEB UI, Perkembangan Riset LM terkait BUMN, Korporasi Terbuka, dan Climate Change

 

Rifdah Khalisha – Humas FEB UI

DEPOK – (6/10/2021) Dalam Rangkaian Acara Dies Natalis Ke-71, FEB UI menggelar Bincang Sore Seri 2 bersama Lembaga Manajemen (LM)  dengan tema “Media Briefing Series: Perkembangan Riset LM terkait BUMN, Korporasi Terbuka, dan Climate Change” pada Rabu (6/10). Hadir sebagai  pemateri As Syahidah Al Haq, M.P.P. (Praktisi Kebijakan Publik), Arza Faldy, M.M. (Praktisi Manajemen Risiko), Dr. R. Nugroho Purwantoro (Praktisi Global Business), dan Dr. Willem Makaliwe (Praktisi Transformasi Strategis). Hadir pula pemandu acara Lisa F. Akbar, M.M. (Praktisi Sektor Perbankan dan Keuangan).

Arza membahas tentang Public Service Obligation (PSO) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Harapannya, BUMN sebagai agen pembangunan harus memegang misi sosial, tidak hanya misi komersial. Dengan kata lain, mampu melayani kepentingan umum dan menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan baik.

Pada dasarnya, penugasan PSO berada di bawah payung hukum regulasi Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 66 Undang-Undang (UU) BUMN No. 19 Tahun 2003. Ia mengemukakan,  “BUMN telah memperoleh penugasan PSO jauh sebelum adanya UU RI No.19 Tahun 2003 Tentang BUMN, melalui undang-undang sektoral dan peraturan terkait. Namun, setelah terbit UU ini menjadi dasar kebijakan PSO.”

Mengacu pada UU tersebut, pemerintah harus memberi kompensasi penuh atas pengeluaran biaya oleh BUMN selama melaksanakan penugasan pemerintah, termasuk penganggaran untuk menutupi selisih jika penugasan tidak layak secara finansial berdasarkan kajian, misalnya adanya perbedaan harga pasar dan harga penetapan pemerintah.

Dalam rangka penugasan, BUMN bisa memperoleh subsidi dan PSO. Arza pun membandingkan keduanya, subsidi berfokus hanya pada barang tertentu, sedangkan PSO berfokus pada kegiatan atau kapasitas sesuai perintah dari pemerintah. Secara umum, proses PSO mulai dari penugasan, pengajuan dan persetujuan anggaran, pelaksanaan, penagihan dan pencairan, hingga pengevaluasian dan pengauditan.

“Penugasan harus menerapkan prinsip akuntabel dan transparan dan mengukur kinerja secara komprehensif. Setelahnya, perlu memantau indikator evaluasi PSO—efisiensi dan efektivitas—untuk BUMN dan PSO yang signifikan. Lalu, tetapkan ada mekanisme tertentu untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut, terutama pada level outcome dan impact,” imbuhnya.

Nugroho membagikan tentang kompleksitas pengukuran biaya untuk transisi energi. Secara konkrit, saat ini ada tekanan dunia untuk penanganan perubahan iklim dengan mengurangi berbagai emisi buruk dari seluruh kegiatan perekonomian.

“Semakin lama, tekanan tersebut pun akan semakin kuat. Namun, sulit jika ingin mengganti sistem pembangkitan energi—semula berbasis fosil menjadi berbasis terbarukan—karena model pengukuran yang ada relatif memiliki beberapa keterbatasan,” ujarnya.

Ia pun mengenalkan teknik pengukuran high-level macroeconomics, yakni general equilibrium model yang penerapannya pada assessment report milik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan integrated assessment models.

Model ini memerlukan sebuah proyeksi kondisi global yang spesifik untuk variabel ekonomi utama, misalnya permintaan, pasokan, pertumbuhan, peningkatan harga yang meluas, dan lainnya. Lalu, menggabungkan proyeksi tersebut dengan data kinerja dan biaya teknologi berdasarkan kondisi terkini. Akhirnya, akan menghasilkan temuan jelas yang mampu mengukur total biaya pengurangan emisi.

Kemudian, Willem memaparkan penelitian tentang analisis kinerja keuangan 2020 dan 1H-2021 korporasi terbuka di Indonesia. Berdasarkan data publikasi 3 September 2021, penelitian menggunakan 702 data keuangan, mempertimbangkan ketersediaan laporan keuangan pada 2020 di situs Bursa Efek Indonesia (BEI).

Ia mengungkapkan, “Hasil analisis laba perusahaan menunjukkan bahwa dari 702 perusahaan, 65,8 persen tidak berhasil mencatatkan kenaikan laba dari 2019 ke 2020. Hanya sejumlah 18,8 persen perusahaan yang mampu meningkatkan laba lebih dari 50 persen.”

“Sementara hasil analisis laba perusahaan BUMN menunjukkan bahwa dari 18 BUMN yang mencatat laba pada 2019, 77,8 persen kembali laba dan 22,2 persen merugi di tahun berikutnya. Lalu, dari 2 BUMN yang mencatat rugi pada 2019, 1 perusahaan berhasil memperoleh laba dan 1 perusahaan lainnya tetap merugi pada tahun berikutnya,” lanjutnya.

Akhir kata, analisis pendapatan 402 perusahaan yang sudah menerbitkan Laporan Keuangan 1H-2021 di BEI, sebanyak 255 perusahaan (63 persen) berhasil meningkatkan pendapatan bersih. Secara keseluruhan, 402 perusahaan mengalami peningkatan pendapatan sekitar 14,2 persen. (hjtp)

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: