J Soedradjad Djiwandono: Inflasi AS dan Dampak ke Indonesia

 

J Soedradjad Djiwandono: Inflasi AS dan Dampak ke Indonesia

Inflasi AS dan Dampak ke Indonesia

Oleh: Prof. J Soedradjad Djiwandono, Ph.D., Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI, Profesor Ekonomi Internasional RSIS NTU Singapura

Laju inflasi Amerika Serikat pada Januari 2022 mencapai 7,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2021. Suatu laju tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

 

KOMPAS – (22/2/2022) Apakah relevansi dari perkembangan ini bagi perekonomian Indonesia? Apakah kita perlu khawatir dengan gejolak harga-harga di AS, sebagaimana yang dilaporkan oleh US Bureau of Labour Statistics tersebut?

Mungkin ada yang berpendapat, kita tidak perlu memedulikan hal tersebut karena itu, kan, laju inflasi di AS, apa hubungannya dengan Indonesia? Apalagi, bukankah menurut laporan terakhir laju inflasi Indonesia hanya 1,5 persen?

Saya bukannya ingin membuat takut, apalagi meremehkan keberhasilan pengelolaan kondisi ekonomi makro, termasuk laju inflasi Indonesia yang jelas bagus tersebut.

Akan tetapi, juga tak ingin meninabobokan pemerintah agar berpuas diri dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lumayan solid dan inflasi yang terkendali. Dengan berita yang kita ikuti dari AS tersebut, kiranya kita tidak boleh hanya berpangku tangan dan mensyukuri saja bahwa laju inflasi Indonesia rendah.

Yang harus diamati adalah apa yang akan dilakukan The Fed menghadapi meningkatnya laju inflasi tersebut? Apa dampak dari langkah tersebut yang perlu diantisipasi?

Apa langkah-langkah pengamanan dan penyesuaian yang perlu dilakukan agar tak menimbulkan implikasi yang merugikan bagi perekonomian nasional? Demikian pula, apakah semua ini dapat menimbulkan masalah yang lebih besar di masa depan?

Pengetatan moneter AS

Terlebih dulu perlu diamati apa yang menyebabkan laju inflasi melonjak tinggi di AS. Rasanya tak terlalu susah diperkirakan apa saja yang menyumbang tingginya inflasi.

Dimulai dari peningkatan pengeluaran pemerintahan Presiden Joe Biden dalam pembangunan infrastruktur serta peningkatan pengeluaran untuk jaring pengaman sosial dan memerangi pandemi Covid-19.

Jelas semua itu secara keseluruhan mendorong permintaan agregat. Hal ini berhada pandengan sisi penawaran yang mengalami kendala rantai pasok yang belum semuanya terselesaikan, seperti kongesti dipelabuhan.

Pemogokan para sopir truk di Kanada juga mengganggu kelancaran logistik antara Kanada dan AS dengan penutupan jaring-jaring penghubung di antara kedua perekonomian.

Hal itu masih ditambah lagi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah berkaitan dengan langkah untuk memberikan dukungan kepada Ukraina, terutama dengan semakin terbacanya rencana Presiden Rusia Vladimir Putin untuk segera melancarkan serangan ke Ukraina melalui perbatasannya dan Belarus.

Semua ini jelas akan meningkatkan pengeluaran pemerintahan Biden, dan menambah besarnya tekanan dibandingkan dengan sebelumnya.

Apa yang akan dilakukan oleh The Fed menghadapi kondisi meningkat tajamnya laju inflasi ini? Ketua The Fed Jerome Powell tentu tidak mau dipersalahkan karena tidak melakukan langkah pengamanan. Dan instrumen yang tersedia adalah pengurangan pembelian surat-surat berharga di pasar dan menaikkan suku bunga acuan, Fed fund rates. Dengan kata lain, pengetatan moneter.

Pertanyaan lebih lanjut adalah kapan dan seberapa besar dan untuk berapa lama. Rasanya Powell sudah membuat pernyataan bahwa kenaikan suku bunga itu akan dilakukan lebih cepat dari yang sebelumnya direncanakan (sooner rather than later).

Dampak pada Indonesia

Bagi Indonesia dan negara-negara berkembang, kondisi tersebut tentu menjadi tantangan, terutama dikaitkan dengan pengelolaan pinjaman nasional, baik pemerintah maupun swasta. Biaya pinjaman dalam valuta asing akan meningkat dan ini akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Demikian pula, untuk sektor swasta yang mempunyai utang dari luar negeri. Saya kurang sependapat dengan mereka yang bernada optimistis dan selalu mengatakan bahwa tingkat pinjaman luar negeri Indonesia masih rendah.

Menurut saya kurang berhati-hati menggunakan ukuran negara-negara maju yang pinjaman nasionalnya memang jauh lebih tinggi, tetapi negara-negara maju juga merupakan pemberi pinjaman. Itu bedanya dengan kita.

Tingkat pinjaman nasional mereka tinggi, tetapi ingat, rasio pajak (tax ratio) mereka juga sangat tinggi (rata-rata mereka 30 persen, sementara Indonesia hanya 11 persen). Saya berkali-kali mengingatkan bahwa ruang gerak moneter Indonesia masih sedikit longgar, tetapi dalam sektor fiskal, rasio pajak Indonesia sangat rendah sampai sekarang.

Tidak usah dibandingkan dengan negara maju, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN rasio pajak kita juga masih yang terendah, dan kondisi seperti ini sulit dipertanggungjawabkan.

Krisis Ukraina

Kita bersyukur, kerja sama otoritas fiskal dan moneter kita sangat serasi dewasa ini.

Yang juga kita tunggu adalah bagaimana kerja sama solid ini bisa kian dioptimalkan untuk menjaga kestabilan fiskal dan moneter selanjutnya sehingga tidak akan mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi di masa depan.

Kita belum memperoleh jawaban yang melegakan mengenai akhir dari ketegangan Rusia-Ukraina. Presiden Joe Biden telah melakukan pembicaraan telepon dengan Presiden Putin, tetapi pemberitaan mengenai hal tersebut tak ada yang bernada positif.

Sambil meminta warga negara AS segera meninggalkan Ukraina, Presiden Biden mengulangi ancamannya kepada Pre-siden Putin bahwa kalau Rusia menyerang Ukraina, AS dan sekutunya akan melakukan tindakan balasan dan menjatuhkan sanksi ekonomi yang akan memberatkan Rusia.

Kita semua hanya bisa berharap konflik militer terbuka yang bisa memicu Perang Dunia III—dengan dampak mengerikan pada kestabilan politik dan perekonomian global—ini bisa dihindarkan.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 22 Februari 2022. Rubrik Opini. Halaman 7.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: