J Soedradjad Djiwandono Tantangan Otoritas Moneter Semakin Berat

 

J Soedradjad Djiwandono Tantangan Otoritas Moneter Semakin Berat

Tantangan Otoritas Moneter Semakin Berat

Oleh: Prof. J Soedradjad Djiwandono, Ph.D., Guru Besar Ekonomi Emeritus FEB UI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu, Ekonomi Internasional, S Rajaratnam School of International Studies (RSIS), NTU Singapura.

 

KOMPAS – (9/9/2022) Minggu lalu saya menulis sebuah kolom yang mengupas betapa gigihnya para gubernur bank sentral negara-negara maju, terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa, mempertahankan kebijakan mereka memerangi inflasi, dengan meningkatkan suku bunga, dengan tingkat kenaikan tinggi secara berturut-turut.

Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell, dalam uraiannya di konferensi tahunan antargubernur bank sentral dunia—yang diorganisasi tuan rumah Federal Reserve System Kansas City di tempat wisata kenamaan Jackson Hole, Wyoming, AS—menunjukkan tekadnya untuk memegang teguh kebijakan moneter yang ketat tersebut.

Tekad ini juga didukung oleh semua presiden bank-bank sentral di seluruh wilayah Federal Reserve System (Fedres), nama resmi bank sentral AS. Powell juga meminta kepada pasar dan masyarakat agar bersabar untuk beberapa waktu lagi, untuk memikul beban ekonomi yang berat karena inflasi dan mungkin juga menurunnya penyerapan tenaga kerja.

Dia menjelaskan, hal itu harus dilakukan untuk kestabilan harga yang lebih berkualitas di masa depan. Saya melihat alasan dari kegigihan ini meskipun langkah itu “diprotes” para pelaku pasar modal dan mungkin juga masyarakat yang sudah mendambakan penurunan laju inflasi yang memberatkan.

Kesalahan 1970-an

Otoritas moneter bertekad untuk tidak mengulangi “kesalahan” tahun 1970-an. Waktu itu, Amerika Serikat mengalami tekanan inflasi serupa yang juga berusaha dijinakkan oleh The Fed. Namun, karena kebijakan moneter longgar yang dilakukan terlalu cepat, inflasi kambuh lagi.

Inflasi baru berhasil dijinakkan setelah ketua The Fed yang baru, Paul Volcker, mengambil kebijakan meningkatkan suku bunga dana The Fed secara substansial dan agak lama.

Saya melihat Powell dan para gubernur anggota Fedres tidak mau mengulangi kesalahan tersebut. Saya juga sependapat dengan keputusan bank sentral untuk meningkatkan suku bunga tinggi guna meredakan tekanan inflasi yang kuat tersebut dengan mengutip tulisan mantan Presiden Reserve Bank of India (bank sentral India) Raghuram Rajan di majalah The Economist.

Rajan yang sekarang kembali menjadi guru besar di Booth School of Business Universitas Chicago menulis sebagai berikut, “Stop berating central banks and let them pacify inflation” (berhenti menyerang bank-bank sentral dan biarkan mereka menjinakkan inflasi).

Mengapa? Karena dalam ekonomi, adagium yang awalnya dikemukakan Profesor Milton Friedman dari Universitas Chicago berikut ini selalu berlaku, yakni bahwa “there is no such thing as a free lunch” (tak ada yang namanya makan siang gratis).

Namun, yang berkembang di China adalah kebijakan yang sebaliknya. Bank sentral China, People’s Bank of China (PBOC), beberapa kali menurunkan suku bunga fasilitasnya dan suku bunga pinjaman utama (prime loan rate/PLR) dan memberikan fasilitas pinjaman untuk sektor properti agar terhindar dari kebangkrutan.

Masalahnya serupa meskipun berbeda arahnya. Di AS, kebijakan suku bunga tinggi digunakan untuk memerangi permintaan yang terlalu kuat.

Sementara, di China, suku bunga justru diturunkan untuk mendorong permintaan terhadap properti yang sangat lemah, di mana sangat banyak perumahan dan pertokoan yang dibangun di banyak kota kosong. Sektor properti selama ini menyumbang 30 per sen dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) China.

Kompleksitas persoalan

Kebijakan pelonggaran moneter atau penurunan suku bunga tersebut diambil oleh bank sentral China bukan karena penilaian yang keliru. Namun, dari presentasi-presentasi yang lain rupanya terlihat bahwa masalah dan tantangan yang ada tampaknya lebih besar lagi dari itu semua. Apa itu?

Gambaran ekonomi masa depan dunia adalah seperti yang dilukiskan Deputi Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Gita Gopinath bahwa kebijakan moneter ketat yang efektif untuk mengendalikan permintaan pasar tidak dapat diandalkan untuk menghadapi disrupsi lain, yaitu disrupsi di sektor penawaran.

Disrupsi mata rantai penawaran (supply chain) yang terjadi sebagai akibat dari dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina berakibat terhadap menurunnya pasokan migas, biji-bijian (grain), dan pupuk, dan kemudian membahayakan produksi pangan.

Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu, ketika para menteri luar negeri G20 bertemu di Denpasar, Bali. Waktu itu, negara-negara mengecam Rusia yang dianggap telah menyebabkan dunia menghadapi kemungkinan krisis pangan. Cercaan banyak negara itu membuat Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memprotes dan memilih pulang meninggalkan sidang.

Dari uraian singkat tersebut jelas bahwa masalah dan tantangan yang menghadang kita lebih besar daripada hanya sekadar sisi permintaan yang selama ini disiasati bank-bank sentral dengan kebijakan moneter ketat. Masalah juga ada pada sisi penawaran dan ini tak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan moneter ketat.

Seperti biasa, para ekonom sangat gemar dengan istilah great untuk melukiskan masalah besar yang dihadapi perekonomian dunia.

Untuk semua masalah yang disebutkan di atas, sudah ada yang mengusulkan agar masa depan perekonomian dunia ini bisa disebut dengan istilah great volatility. Istilah ini dikontraskan dengan era tahun 1990-an pada masa Federal Reserve diketuai Alan Greenspan yang legendaris itu, yang disebut sebagai era Great Moderation, atau era setelah krisis global 2008 yang dinamakan sebagai Great Recession.

Saya tidak pernah mengetahui mengapa ekonom senang menggunakan istilah great untuk menggambarkan hal yang tidak mengenakkan, suatu misteri sampai kini.

Yang saya tahu, ini diawali dengan krisis pasar modal di New York tahun 1929, yang kemudian disebut sebagai The Great Crash, istilah yang kemudian menjadi judul dari buku yang ditulis Profesor John Kenneth Galbraith dari Universitas Harvard. Kemudian, depresi ekonomi dunia yang mengikutinya tahun 1930-an, yang disebut sebagai The Great Depression.

Menurut saya, semua ini hanya menggambarkan bahwa realitas ekonomi itu jauh lebih rumit dari yang ekonom dapat menggambarkan dalam tulisan sehebat apa pun penulisnya.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/09/08/tantangan-otoritas-moneter-semakin-berat

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: