LD FEB UI: Keampuhan Budaya Lokal

 

LD FEB UI: Keampuhan Budaya Lokal

Keampuhan Budaya Lokal

 

Mengubah perilaku masyarakat amat penting untuk mengatasi pandemi Covid-19. Komunikasi dalam bahasa yang dimengerti, berasal dari memori kolektif warga, menjadi kunci keberhasilan.

KOMPAS – (9/9/2021) Bila mau jujur, banyak warga tak memahami makna istilah yang dipakai dalam mengomunikasikan bahaya, besaran, dan pencegahan pandemi Covid-19. Sementara perubahan perilaku menjadi kunci memotong penyebaran Covid-19.

Sebagai contoh, penggunaan istilah berbahasa asing, yaitu lockdown, new normal, herd immunity, social distancing, physical distancing, rapid test, swab, PCRdan suspect.

Istilah dalam bahasa Indonesia pun tak mudah dipahami. Beberapa istilah itu, antara lain, PSBB, PPKM, kekebalan komunitas, orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, pandemi, isolasi mandiri, dan isolasi terpusat.

Dalam perjalanan, ajakan mencegah penularan virus Covid-19 dengan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak minimal 2 meter dan menghindari kerumunan), berubah menjadi 5M, bahkan lebih. Seolah-olah dengan makin banyak M akan kian baik. Hal yang tak disadari yakni kebingungan warga karena berbagai istilah terus berubah dari waktu ke waktu.

Istilah PSBB (pembatasan sosial berskala besar) dipakai di awal penanganan pandemi, bermakna pembatasan luas kegiatan di tempat umum demi mencegah penularan Covid-19.

Belakangan, PSBB diganti menjadi PPKM (pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat). Awalnya PPKM darurat, lalu berganti menjadi PPKM level 1 sampai 4. Setiap tingkatan berisi sejumlah larangan yang sulit diingat orang biasa.

Dengan begitu banyak istilah yang tak akrab maknanya di masyarakat, tak mengherankan sebagian masyarakat merasa bingung. Salah satu akibatnya, informasi salah dan palsu mudah menyebar dan diterima. Dampaknya, tak sedikit warga melihat pembatasan sosial hanya untuk mempersulit kehidupan mereka.

Laporan “2021 Edelman Trust Barometer” yang mengukur kepercayaan responden di 28 negara, termasuk Indonesia, secara daring pada 2020, menemukan, warga tak tahu ke mana dan kepada siapa mencari informasi yang dapat dipercaya.

Di Indonesia, survei Edelman menemukan, secara umum indeks kepercayaan masyarakat turun satu tingkat menjadi 72 dan secara global naik dari 55 pada 2020 menjadi 56. Sebanyak 75 persen dari 1.150 responden berusia di atas 18 tahun mengaku khawatir tertular Covid-19 dan 41 persen di antaranya bahkan sangat takut. Sebanyak 89 persen khawatir kehilangan pekerjaan, 62 persen di antaranya amat takut; bahkan 59 persen percaya pandemi menyebabkan perusahaan akan mengganti manusia dengan kecerdasan artifisial. Sebanyak 66 persen khawatir dan 32 persen di antaranya amat takut kehilangan kebebasan sebagai warga negara.

Budaya dan jender

Data di atas memperlihatkan, masyarakat sebenarnya mengetahui virus SARS-CoV2 pemicu Covid-19 berbahaya. Mereka takut tertular dan takut pandemi memengaruhi kesejahteraan mereka. Secara umum warga butuh informasi yang bisa dipercaya di tengah banjir informasi palsu.

Kebutuhan masyarakat akan informasi yang bisa dipercaya ditunjukkan laporan “Digital News Report” Reuters Institute for the Study of Journalism melalui survei di 46 pasar atau negara, termasuk Indonesia. Kebutuhan informasi tidak berpihak dan obyektif dari media arus utama meningkat selama pandemi.

Walakin, informasi obyektif dan bisa dipercaya seyogianya dapat dimengerti setiap orang sesuai pendidikan, usia, jender, budaya, dan lokasi geografis. Penggunaan bahasa dan budaya lokal secara tepat sebagai memori kolektif membantu mendorong perubahan perilaku. Efektivitasnya dibuktikan melalui uji coba intervensi komunitas terfokus di Kalimantan Timur, provinsi luar Jawa dengan kasus Covid-19 tinggi.

Dalam seminar daring Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI bersama Forum Kajian Pembangunan, Kamis (2/9/2021), Prof. Dr. Multamia RMT Lauder dari Departemen Linguistik, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia, menyebut keberhasilan perubahan perilaku pada komunitas yang diintervensi.

Intervensi pengetahuan tentang 3M memakai bahasa dan budaya lokal, di antaranya, pada dua kelompok di Facebook yang jadi wadah warga sekitar Samarinda. Setelah intervensi, 90 persen anggota komunitas mengatakan akan sukarela menjalankan protokol kesehatan. Multamia meyakini, PPKM ketat tak diperlukan jika warga memahami apa yang diharapkan dari mereka.

Ketua Bidang Perubahan Perilaku Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional Sonny Harmadi menyebut, Satgas memakai budaya lokal untuk mendorong perubahan perilaku. Bahasa setempat; kesenian dan seniman lokal; budaya pop, seperti lagu dari grup band, komik, hingga animasi, berdampak positif pada penerimaan 3M oleh masyarakat. Media sosial dan media arus utama jadi alat penyampai pesan, sesuai kelompok sasaran.

Hasil evaluasi Satgas per Agustus 2021 menunjukkan, lebih dari 70 persen populasi sudah menginternalisasi perilaku 3M tanpa perlu intervensi lagi. Sebanyak 30 persen bersikap patuh, melaksanakan jika ada aturan dan diingatkan.

Perubahan perilaku harus dipertahankan, antara lain, dengan mendukung agen perubahan. Perempuan lebih baik mematuhi protokol kesehatan 3M, seperti ditunjukkan Survei Perilaku Masyarakat pada Masa Pandemi Covid-19 Badan Pusat Statistik periode 13-20 Juli 2021.

Peran agensi perempuan terutama dibutuhkan pada kelompok masyarakat berpendidikan sekolah menengah atas atau SMA ke bawah, belum menikah, penularan Covid-19 rendah.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 9 September 2021. Rubrik Humaniora. Halaman 8

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: