Mengenal Lebih Dekat Profesor Budi (Part 2)

 

Mengenal Lebih Dekat Profesor Budi (Part 2)

Tahun 1985, PSIK FK UI didirikan dan Prof. Budi mendaftar sebagai angkatan pertama. Mengenai proses pendaftaran, ada cerita yang cukup mengharukan bagi Prof. Budi. Formulir pendaftaran untuk masuk ke PSIK FK UI tersebut dibelikan dan diantarkan langsung oleh Ibu Magdalena Mahdi yang ketika itu sedang patah kakinya. Bagi Prof. Budi, sosok Ibu Magdalena Mahdi merupakan role model. Menurut beliau, sosoknya benar-benar contoh seorang guru, yang membantu mahasiswanya dengan total, tidak setengah-setengah.

Ketika memutuskan untuk melanjutkan sekolah, Prof. Budi tidak memiliki tabungan. “Saya hanya punya niat dan uang pendaftaran, apalagi itu formulirnya saja sudah dibelikan,” ungkap Prof. Budi. Saat perkuliahan sudah berlangsung, Prof. Budi bersama beberapa teman seangkatannya yang seluruhnya berjumlah 21 orang mengusulkan beasiswa ke Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan.

Walaupun akhirnya Prof. Budi memperoleh beasiswa penuh dan juga uang saku dari PPSDM, beliau tetap kreatif dalam membuat catatan pelajaran. Prof. Budi bercerita, “jadi kuliah kan isinya sudah orang “bermutu” (bermuka tua) semua, lalu kami kuliah dan dosennya ngajar pake bahasa Inggris. Setelah kuliah dengan bahasa Inggris di kelas, kebanyakan kami belum lancar berbahasa Inggris, namun ada beberapa orang yang sudah pernah tugas belajar ke luar negeri. Kemudian kita kuliah ulang lagi. Diterjemahin oleh teman-teman yang pinter bahasa Inggris. Setelah itu, saya terbitin ringkasan pagi-pagi.” Banyak sekali perjuangan yang dihadapi para mahasiswa angkatan pertama, misalnya harus mengangkat proyektor ke sana kemari, kelas digusur sana sini, dan masih banyak yang lainnya.

Memasuki semester akhir perkuliahan, Prof. Budi bersama 4 orang lainnya dipilih untuk melanjutkan pendidikan ke Australia dengan beasiswa dari WHO. Keempat orang tersebut adalah Prof. Elly Nurachmah (guru besar FIK UI), Prof. Ratna Sitorus (guru besar FIK UI), Ibu Krisna Yetti (dosen senior Departemen DKKD FIK UI), dan Ibu Jane Freyana (sekarang staf pengajar di Universitas Pelita Harapan). Nantinya setelah kembali dari Australia, kelima orang tersebut diminta menjadi staf dosen di PSIK FK UI. Di tengah kesibukan menyelesaikan semester terakhir, Prof. Budi dan teman-teman juga harus belajar bahasa Inggris di Lembaga Bahasa LIA.

Dari kelima orang yang berangkat, hanya Prof. Budi yang mengambil jurusan komunitas khusus jiwa, keempat temannya mengambil peminatan medikal bedah. Pada libur semester 1, beberapa dari mereka mengambil program Registered Nurse (RN) selama kurang lebih 13 minggu. Tidak hanya itu, Sabtu – Minggu pun diisi dengan praktik di rumah sakit.

Ketika sudah menjadi dosen di PSIK FK UI, ada beasiswa untuk melanjutkan S3 ke luar negeri. Prof. Budi bersama keempat temannya kembali ditawarkan beasiswa tersebut. Namun, Prof. Budi mengusulkan agar beasiswa tersebut diberikan pada seniornya terlebih dahulu. Prof. Budi berkata, “lebih baik yang senior dulu yang pergi. Kalau setelah tahun 1995 gak ada kesempatan untuk sekolah ke luar negeri, saya memilih untuk gak sekolah ke luar karena anak-anak saya sudah remaja.” Akhirnya Prof. Budi tidak melanjutkan sekolah ke luar negeri dan mengambil jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat UI.

Pertama kali menjadi dosen setelah sekian lama menjadi perawat di Rumah Sakit Jiwa tidak membuat Prof. Budi kesulitan. Target beliau adalah bagaimana membuat mata ajar keperawatan jiwa menjadi menarik dan mudah dipahami oleh mahasiswa. Selain itu, Prof. Budi masih terus bermimpi untuk mencari cara bagaimana bisa menjangkau orang yang masih sehat supaya tidak sakit jiwa dan bagaimana caranya menjangkau orang yang berisiko untuk tidak sakit jiwa.

Pada Desember 2004 ketika terjadi bencana tsunami di Aceh, Prof. Budi dihubungi oleh WHO untuk menangani masalah kejiwaan pasca bencana di Aceh. Sebelum dipanggil WHO, Prof. Budi sebenarnya sudah menjadi tim emergency yang terdiri dari perawat, psikolog dan psikiater untuk menyiapkan buku kecil panduan emergency untuk jiwa. Awalnya, Prof. Budi diminta hanya menangani klien dengan gangguan jiwa di Aceh, namun beliau menolak. Akhirnya dicapai kesepakatan, awalnya Prof. Budi dan tim akan fokus pada klien dengan gangguan jiwa, namun selanjutnya juga menangani kelompok-kelompok berisiko dan sehat. Selanjutnya, Prof. Budi mengajak semua dosen Departemen Keperawatan Jiwa FIK UI dan para dosen keperawatan jiwa di beberapa Poltekkes di Jakarta beserta perawat Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat untuk menyusun modul yang disebut Community Mental Health Nursing (CMHN). Pada proses penanganan pasca bencana di Aceh tersebut, ditemukanlah sekitar 200 kasus pasung. Dari situlah awalnya Prof. Budi berfokus pada minat dan riset mengenai pasung.

Dulu ketika kuliah di Akper, Prof. Budi sempat menjadi anggota ekstrakurikuler voli. Ketika masih SMP dan SMA serta tinggal di Medan, Prof. Budi pernah meraih juara lomba catur se-kota Medan, dan menjadi anggota tim voli dan hoki SMA tempat beliau sekolah. Selain itu, ternyata Prof. Budi juga suka membuat aksesoris adat khas Medan, misalnya tudung dan pakaian. Tidak hanya itu, beliau juga suka bereksperimen dengan menata rambut alias sanggul dan sering dimintai bantuan untuk oleh teman-temannya ketika ada acara di Akper.

Bagi mahasiswa FIK UI, Prof. Budi berpesan, “no health without mental health. Sukailah keperawatan jiwa. Jika Anda tidak suka, maka Anda tidak akan menjadi perawat holistik. Kalau tidak menjadi perawat holistik, maka sesungguhnya bukan perawat. Karena keperawatan itu adalah merawat orang seutuhnya.”

Hingga saat ini, Prof. Budi memiliki dua moto hidup. Dulu, moto hidup beliau adalah “hidup untuk bekerja, bekerja itu bermain.” Setelah beliau menjadi guru besar, moto hidup Prof. Budi berubah menjadi “make yourself have a meaning for others, every single time you have.”

 

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: