Mengulas Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dalam "Dissability Screening and Discuss"

 

Mengulas Pemberdayaan Penyandang Disabilitas dalam "Dissability Screening and Discuss"

Mahasiswa Okupasi Terapi UI menggelar acara Dissability Screening and Discuss pada Rabu (15/4/2015) lalu. Dengan mengangkat tema “Get Along Together for Better Future”, diskusi ini mengulas pentingnya pemberdayaan bagi penyandang disabilitas agar mampu hidup mandiri di tengah masyarakat.

Acara yang berlangsung di Cinema Room Perpustakaan UI ini menghadirkan empat orang pembicara, yakni dr. Tri Gunadi, A.Md. OT, S.Psi. selaku Dosen Okupasi Terapi UI, Drs. Gufroni Sakaril, M.M. selaku Ketua Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, Ujang Taofik Hidayat, S.Sos., M.Si. selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Vokasional Balai Besar Rehabilitasi Vokasional Bina Daksa (BBRVBD), dan Lilik Suwardi, seorang mantan penderita skizofrenia yang kini telah sembuh dan aktif di bidang vokasional.

Acara diskusi dibuka dengan pemutaran film berjudul Menanti Pelangi Pagi karya Festival Film Disabilitas. Film dokumenter ini menceritakan suasana di Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri Purbalingga yang menjadi wadah pendidikan bagi anak-anak penyandang disabilitas. Namun, fasilitas di SLB itu masih belum sesuai dengan standar optimal pendidikan penyandang disabilitas. Idealnya, satu kelas diisi lima siswa dengan jenis disabilitas yang sama. Namun, keterbatasan fasilitas membuat satu kelas harus diisi 12-24 orang dengan jenis disabilitas yang beragam.

Menurut Gufroni, kondisi ini sangat disayangkan. Ditambah lagi, fakta di lapangan menunjukkan masih kurang dari lima persen anak-anak disabilitas yang mampu bersekolah. “Jika penyandang disabilitas tidak bersekolah, maka akan menjadi beban keluarga terus-menerus karena tidak memiliki keterampilan. Kalau mereka mengecap pendidikan, setidaknya mereka bisa jadi bagian dari masyarakat yang inklusif,” tutur Gufroni.

Minimnya pemberdayaan terhadap penyandang disabilitas ini, menurut Gufroni,  terkait dengan dua masalah besar, yakni stigma dan diskriminasi. “Stigma bahkan tidak hanya datang dari masyarakat, tetapi juga dari keluarganya sendiri yang merasa malu dengan keadaan anggota keluarganya sehingga mereka disembunyikan dan tidak diberi pendidikan,” jelas Gufroni.

Sementara itu, diskriminasi terjadi karena kaum disabilitas tidak mampu menikmati fasilitas yang disediakan oleh negara, seperti fasilitas kendaraan umum Transjakarta. “Di negara ini, penyandang disabilitas masih cenderung dianggap sebagai beban,” ujarnya.

Upaya-upaya untuk mengadvokasi kebutuhan penyandang disabilitas sebenarnya telah diupayakan oleh negara, salah satunya dengan pembuatan RUU disabilitas. “Sesuai RUU, di sektor pendidikan, SLB akan menjadi salah satu bentuk pelayanan negara untuk warganya. Di setiap kecamatan juga akan ada pusat pelayaan disabilitas,” jelas Ujang Taofik yang juga bekerja di Kementerian Sosial.

Dalam RUU itu, terdapat pula peraturan tentang penyertaan kaum disabilitas dalam sebuah perusahaan. Implikasinya, setiap 50 orang pekerja dalam sebuah perusahaan, dua persen di antaranya harus penyandang disabilitas.

“Status pekerja di perusahaan itu pun harus disebut sebagai ‘penyandang disabilitas’ dan ‘bukan penyandang disabilitas.’ Selama ini, penyebutannya masih ‘penyandang disabilitas’ dan ‘pekerja normal,’” ujar Taofik. Perubahan penyebutan istilah ini diharapkan dapat mengurangi anggapan bahwa penyandang disabilitas selalu didikotomikan dengan individu normal.

Mewakili Departemen Okupasi Terapi UI, Tri Gunadi memaparkan perlunya kerja sama lintas sektor dalam pemberdayaan disabilitas. “Perlu integrasi antara Kementerian Sosial, Pendidikan, dan Kesehatan, ditambah dengan akademisi yang paham tentang disabilitas secara teoritis,” ujar Tri.

Departemen Okupasi Terapi, lanjut Tri, memiliki kurikulum yang lengkap dalam melatih mahasiswanya untuk memberdayakan kaum disabilitas, mulai dari rehabilitasi hingga survival coaching agar penyandang disabilitas mampu mandiri di masyarakat.

Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution

Editor: Inung Imtihani

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: