Mirza Adityaswara: UMKM dan Kendala Pembiayaan

 

Mirza Adityaswara: UMKM dan Kendala Pembiayaan

UMKM dan Kendala Pembiayaan

Oleh: Mirza Adityaswara, Ekonom dan Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI)

 

KOMPAS – (16/11/2021) Topik tentang usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM selalu menarik. Apalagi untuk politisi, UMKM pastilah topik primadona karena disenangi para konstituen.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sektor UMKM menyumbang sekitar 60 persen dari produk domestik bruto (PDB). Akan tetapi, jika dilihat dari data perbankan, kredit UMKM hanya berjumlah sekitar Rp1.000 triliun atau 20 persen dari total kredit perbankan.

Di dalam sistem pendanaan di Indonesia, perbankan mengambil peran yang besar, yaitu 77 persen, sisanya adalah dana pensiun, asuransi, lembaga pembiayaan, koperasi, dan lainnya. Meski demikian, perbankan bukan sumber pendanaan terbesar karena komponen pendanaan dari luar negeri masih cukup signifikan.

Berbeda dengan banyak negara lain, kredit perbankan di Indonesia hanya 39 persen PDB. Tampaknya bank mengalami kesulitan menyalurkan kredit karena kurangnya informasi debitor yang layak dibiayai. Karena UMKM hanya 20 persen dari total kredit, maka kredit UMKM hanya berkisar 8npersen PDB.

Jika betul UMKM menyumbang sekitar 60 persen PDB, sedangkan kredit UMKM hanya berkisar 8 persen PDB, apakah artinya sebagian besar UMKM didanai oleh modal sendiri?

Tampaknya demikian karena sebagian besar pelaku UMKM masih berskala mikro dengan produktivitas rendah serta ketiadaan kolateral. Akibatnya, perbankan tidak berminat membiayai.

Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM tahun 2019 yang diolah dari Badan Pusat Statistik (BPS), ada 64,6 juta usaha mikro, menyumbang PDB sebesar Rp5.913 triliun. Ini setara dengan 37 persen PDB tahun 2019.

Sementara usaha menengah berjumlah hanya 66.000 unit dan menyumbang 14 persen PDB. Jumlah usaha kecil lebih banyak, yaitu 783.000 unit, menyumbang 9 persen PDB.

Peranan penting diambil oleh usaha besar, jumlahnya hanya 5.550 unit, tetapi menyumbang 37 persen PDB. Artinya, kontribusi usaha besar sama dengan usaha mikro, tetapi produktivitas usaha besar jauh lebih tinggi, ditunjukkan oleh sumbangan PDB per unit usaha.

Apakah mungkin kita membesarkan usaha kecil dan mikro tanpa keterkaitan rantai produksi dan perdagangan dengan usaha besar dan menengah? Rasanya tidak mungkin.

Jika kita ingin memperbesar peran kredit UMKM di dalam portofolio kredit perbankan dari saat ini 20 persen menjadi 30 persen, yang harus dibangun adalah ekosistem usaha agar kegiatan ekonomi sektor usaha menengah-besar dan usaha mikro kecil dapat tumbuh dengan sehat. Usaha mikro kecil harus dibuat menjadi layak kredit.

Hal ini tentu memerlukan dukungan pemerintah. Jangan lagi dunia usaha diganggu dan dibebani biaya tidak resmi. Regulator pun harus adil dan berimbang, baik itu regulator sektor keuangan maupun regulator sektor riil, misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Praktik perbankan yang sehat adalah memberikan kredit dengan dana perbankan sendiri, ada jaminan yang cukup, usaha debitor berjalan baik, dan utang nasabah dibayar lancar. Jaminan yang cukup bisa diperoleh dari aset tetap atau aset usaha yang dijalankan oleh debitor (misalnya persediaan barang) atau ada jaminan dari pihak lain.

Tak hanya bersandar pada pemerintah

Mengembangkan sektor kredit usaha mikro-kecil pun demikian. Pemerintah membantu pendanaan dan penjaminan. Sudah sekian tahun pemerintah secara luar biasa memberikan subsidi bunga kredit dan penjaminan kredit pada UKM. Ada lima jenis bantuan pemerintah kepada UMKM: 1) subsidi bunga KUR (kredit usaha rakyat), 2) subsidi bunga non-KUR, 3) penjaminan kredit UMKM, 4) kredit ultra mikro (UMi), dan 5) hibah BPUM (banpres produktif usaha mikro).

Pada 2015, pemerintah menyalurkan KUR lewat perbankan Rp23 triliun. Nilai ini terus meningkat. Pada 2019 sudah mencapai Rp 140 triliun. Pada masa pandemi, per Oktober 2021 penyaluran KUR bahkan mencapai Rp210 triliun. Subsidi bunga KUR yang diberikan pemerintah pada 2015 bernilai Rp39 miliar, pada masa pandemi 2020-2021 sudah mencapai Rp13,7 triliun per tahun dengan jumlah debitor sekitar 5,6 juta.

Penerima subsidi bunga non-KUR sekitar 7,2 juta debitor dengan jumlah Rp1,7 triliun. Penyaluran kredit ultra mikro mendekati Rp17 triliun dengan jumlah debitor sekitar 5 juta. Jumlah penerima hibah BPUM 12,8 juta usaha mikro. Di luar hibah BPUM, jika kita jumlahkan, ada sekitar 17,8 juta debitor penerima subsidi kredit mikro, padahal jumlah pelaku usaha mikro ada 64,6 juta usaha mikro.

Kembali hal ini membuktikan bahwa ada banyak sekali usaha mikro yang belum terjangkau oleh pembiayaan lembaga formal. Akhirnya, mereka harus memakai modal sendiri atau pergi ke rentenir dan pinjaman daring (kerap disebut ”pinjol”) ilegal.

Akibat keterbatasan APBN, kredit usaha mikro-kecil ini tidak bisa bertumpu hanya pada dana pemerintah. Agar usaha mikro kecil layak kredit, infrastruktur informasi harus terus dibangun sehingga data tersedia bagi bank dan non bank yang minat masuk ke bisnis kredit UMKM. Sistem layanan informasi keuangan (SLIK) yang dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus terus dikembangkan sehingga dapat menjangkau informasi debitor non bank, seperti nasabah asuransi, sekuritas, dan layanan teknologi finansial.

Aktivitas untuk memasukkan semakin banyak usaha mikro-kecil ke dalam sistem pembayaran nasional QRIS perlu terus dipacu karena dari situ dapat diperoleh data penjualan sektor usaha ini. Sangat bermanfaat bagi kreditor jika data pembayaran QRIS yang dikelola Bank Indonesia dapat terintegrasi dengan data SLIK yang dikelola OJK.

Informasi data jaminan juga harus dikembangkan sehingga mudah diakses oleh lembaga keuangan. Peran penting perlu dijalankan oleh Badan Pertanahan serta Kementerian Hukum dan HAM sebagai otoritas yang mengadministrasikan jaminan tanah serta jaminan aset bergerak.

Agar bank swasta dan non bank berminat masuk ke bisnis kredit usaha mikro-kecil, harus ada margin keuntungan. Jika harga kredit usaha mikro-kecil terlalu tinggi, debitor kesulitan. Namun, jika harga kredit terlalu rendah, kreditor tak berminat masuk. Akibatnya, usaha mikro-kecil harus bergantung pada dana subsidi APBN, padahal dana pemerintah terbatas.

Contohnya, kreditor mikro terbesar di Indonesia ialah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada masa pandemi, kredit mikro BRI dapat tumbuh 15 persen pada September 2021, tetapi yang tumbuh sangat tinggi adalah KUR yang bunganya disubsidi oleh pemerintah. KUR tumbuh 75 persen pada September 2021, sedangkan kredit KUPEDES BRI turun 9 persen.

Jika kredit mikro BRI saja kalah dengan KUR, bank lain serta BPR pasti tidak mampu bersaing dengan KUR. Di satu sisi, hal ini menunjukkan peran penting KUR, tetapi di sisi lain memperlihatkan bahwa harga kredit subsidi telah membuat bank dan non bank tidak tertarik masuk ke bisnis kredit usaha mikro dan kecil.

Akhirnya hal ini akan menyulitkan pemerintah karena kekuatan dana APBN tak akan mampu mendanai semua usaha mikro, kecil, dan menengah.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 16 November 2021. Rubrik Analisis Ekonomi – Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: