Muhamad Chatib Basri: Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah

 

Muhamad Chatib Basri: Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah

Muhamad Chatib Basri: Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

DEPOK – Jumat (24/4/2020), Muhamad Chatib Basri, Pengajar di FEB UI, merilis tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, rubrik Opini, yang berjudul “Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah”. Berikut tulisannya.

“Kebijakan Fiskal untuk Kelas Menengah Bawah”

Pemerintah di sejumlah negara mencoba mengeluarkan kebijakan untuk menanggulangi, Indonesia tak terkecuali. Pemerintah Indonesia membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang fokus pada tiga hal: kesehatan, bantuan sosial, dan pemulihan ekonomi. Langkah pemerintah patut diapresiasi.

Saya pernah menulis di harian ini (19/3/2020). Covid-19 dan pembatasan sosial akan berdampak terhadap perekonomian, baik akibat berkurangnya permintaan (demand shock) karena menurunnya pendapatan maupun berkurangnya produksi (supply shock) karena terganggunya aktivitas produksi. Dalam kondisi ini, kebijakan fiskal harus disesuaikan dengan kondisi dan prioritas kebijakan. Dan, kebijakan fiskal pemerintah yang tercakup di dalam perppu memang fokus menjawab persoalan itu.

Namun, seperti yang disampaikan oleh kolega saya, Rema Hanna dan Benjamin Olken, dalam dua tulisan sebelumnya, perlindungan sosial yang ada saat ini belum cukup. Perlindungan sosial perlu diperluas kepada kelompok masyarakat menengah bawah. Rema Hanna menuliskan bahwa program perlindungan sosial di Indonesia saat ini difokuskan bagi mereka yang miskin, dan bukan lagi kelas menengah bawah yang rentan menjadi miskin. Program-program ini juga dirancang bukan untuk mereka yang kehilangan pekerjaan karena kejutan ekonomi, seperti Covid-19. Karena itu, program bantuan sosial yang ada perlu diperluas.

Ruang fiskal

Benjamin Olken menuliskan bahwa perlu ada pendekatan baru untuk menjawab persoalan yang disampaikan Rema Hanna. Olken mengusulkan tiga opsi kebijakan: memperluas program Kartu Prakerja, memanfaatkan teknologi digital ponsel, dan menggunakan pendekatan berbasis komunitas sebagai salah satu kiat dalam pemberian bantuan bagi kelompok kelas menengah bawah yang rentan akibat Covid-19.

Pertanyaannya lalu apakah ada ruang fiskal untuk itu? Bagaimana kita membiayainya? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan itu. Mungkin ada beberapa hal yang bisa dilakukan.

Pertama, langkah pemerintah dengan melakukan realokasi anggaran dan fokus pada tiga prioritas utama tersebut sudah tepat. Namun, mungkin prioritas bisa lebih dipertajam. Program-program pemerintah, termasuk proyek-proyek infrastruktur, belanja fisik, atau belanja modal yang tak mendesak, ditunda dulu. Anggaran kementerian dan lembaga bisa dipotong lebih jauh. Anggaran yang efektivitasnya terbatas juga bisa dipotong.

Dalam situasi pembatasan sosial berskala besar seperti ini, sebagian besar perjalanan dinas akan terhenti. Rapat bisa dilakukan secara daring. Relaksasi pajak juga tak sepenuhnya efektif karena jika pekerja di-PHK atau perusahaan rugi, mereka toh tetap tak menerima manfaat dari kebijakan ini. Lebih baik anggaran, yang juga bersumber dari pajak, dialokasikan untuk kelas menengah bawah. Prioritas harus benar-benar tajam, fokus hanya pada tiga hal utama yang sudah disebut tadi. Di luar itu, tunggu setelah situasi kembali normal.

Kedua, Indonesia memang membutuhkan defisit anggaran yang lebih besar. Pemerintah telah menghapus batas maksimal defisit anggaran 3 persen dari produk domestik bruto (PDB) selama tiga tahun. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk mengatasi Covid-19 sebesar Rp405 triliun (2,5 persen dari PDB). Alokasi dana ini untuk: tambahan anggaran kesehatan Rp75 triliun; Rp110 triliun untuk tambahan jaring pengamanan sosial, Rp70,1 triliun untuk dukungan industri, serta Rp150 triliun untuk pemulihan ekonomi.

Jika program bantuan sosial ingin diperluas kepada kelompok menengah bawah yang rentan karena terpukul Covid-19, seperti yang diusulkan oleh Rema Hanna dan Benjamin Olken, maka dibutuhkan dana lebih besar. Sebagai contoh: Bank Dunia (2020) memperkirakan ada 115 juta orang dalam kategori ‘aspiring middle class’ (calon kelas menengah). Jika kelompok ini yang ingin dituju, bantuan perlu diberikan kepada sekitar 30 juta rumah tangga. Jika nilai manfaat adalah Rp1 juta per bulan dan diberikan selama empat bulan, maka dibutuhkan Rp120 triliun atau sekitar 0,75 persen dari PDB. Jika ini dilakukan, defisit anggaran akan meningkat dari perkiraan pemerintah saat ini yang sekitar 5,07 persen dari PDB.

Dalam situasi seperti sekarang ini, peningkatan defisit anggaran yang lebih besar adalah sesuatu yang masih bisa dibenarkan. Moto dari kebijakan fiskal saat ini di banyak negara di dunia adalah ‘whatever it takes’ (apa pun yang dibutuhkan).

Mungkin ada kekhawatiran defisit besar akan membahayakan fiskal ke depan. Kondisi sekarang ini memang bukan situasi normal. Yang paling penting pandemi bisa diatasi. Jika ekonomi tak berjalan, pertumbuhan ekonomi negatif, rasio utang terhadap PDB juga tetap meningkat. Sementara jika alokasi anggarannya benar digunakan untuk kesehatan, perlindungan sosial, pemulihan ekonomi, pasar dapat menerima dan ekonomi akan lebih cepat pulih.

Ketiga, jika defisit anggaran dinaikkan, lalu bagaimana pembiayaannya? Yang pertama adalah menggunakan sumber pembiayaan yang ada di pemerintah, seperti saldo anggaran lebih, dana Badan Layanan Umum, dan sebagainya. Tentu ini saja tidak cukup. Karena itu, pemerintah perlu menerbitkan obligasi. Jika kita hanya menggantungkan diri pada pasar obligasi domestik, maka akan terjadi crowding out karena dana perbankan akan diserap oleh obligasi pemerintah sehingga perbankan mengalami kesulitan likuiditas.

Namun, saat ini permintaan terhadap kredit juga menurun akibat terganggunya aktivitas produksi. Akibatnya, tekanan likuiditas perbankan juga menurun. Karena itu, ruang untuk pembiayaan melalui obligasi domestik sebenarnya lebih terbuka ketimbang beberapa bulan lalu.

Opsi lain adalah menerbitkan obligasi untuk pasar global. Beberapa minggu lalu, pemerintah mengeluarkan obligasi global. Respons pasar positif. Namun, ke depan, dalam situasi perekonomian dunia yang mungkin semakin menurun, bunga obligasi akan sangat tinggi. Karena itu, pemilihan momentum untuk penerbitan obligasi menjadi penting.

Pilihan lain adalah helicopter money, sebuah istilah yang diciptakan oleh Milton Friedman tahun 1969. Salah satu contohnya adalah meminta Bank Indonesia untuk membeli obligasi pemerintah di pasar primer. Ide ini populer sekarang tetapi harus tetap hati-hati.

Kita tahu, secara konseptual, dalam kondisi resesi atau depresi (Keynesian range), di mana orang menganggur dan perekonomian yang jauh dari kondisi full employment (kondisi sumber daya digunakan secara penuh), metode ‘cetak uang’ dengan meminta Bank Indonesia membeli obligasi pemerintah, memang akan meningkatkan jumlah uang beredar. Sumber dana jenis ini dapat membiayai defisit anggaran tanpa menimbulkan inflasi yang signifikan. Namun, perlu diingat, Covid-19 adalah kombinasi dari demand shock dan supply shock. Jika uang dicetak dalam jumlah yang sangat besar, terus-menerus dan pada saat produksi (aggregate supply) turun atau mandek, inflasi akan meningkat. Karena itu, dibutuhkan kehati-hatian untuk pola pembiayaan ini.

Kerja sama Internasional

Keempat, opsi lain adalah kerja sama Internasional. Sampai dengan tahun 2014, Pemerintah Indonesia pernah memiliki fasilitas yang namanya Deferred Draw Down Option (DDO), di mana jika bunga obligasi di pasar sangat mahal, Pemerintah Indonesia dapat meminjam dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Australia, dan Jepang dengan bunga yang sangat rendah. Skema ini mungkin bisa dihidupkan kembali. Dengan itu, ada akses pembiayaan yang relatif murah.

Selain itu, kemungkinan dukungan dari AIIB, atau dukungan bilateral seperti currency bilateral swap, bisa dijajaki. Saya kira kita perlu memberikan apresiasi terhadap Bank Indonesia yang memperoleh fasilitas repurchase agreement (repo) dari Bank Sentral AS sebesar 60 miliar dollar AS.

Di luar itu, dibutuhkan kerja sama Internasional. Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dunia harus bekerjasama untuk memastikan tersedianya jaring pengaman keuangan global. Carmen Reinhart dan Kemneth Rogoff dari Universitas Harvard bahkan mengusulkan perlunya moratorium sementara untuk pembayaran utang dari emerging market atau negara berkembang. Bunga cicilan utang ini untuk sementara waktu bisa digunakan guna mengatasi masalah Covid-19.

Kelima, kami ingin mengingatkan bahwa eksekusi program-program dengan dana besar, termasuk pemulihan ekonomi, harus dilakukan berdasarkan basis aturan (rule based). Kriteria harus jelas dan tata kelola pemerintah yang baik harus ada. Tentu perlindungan yang jelas untuk pelaksana mutlak diperlukan. Kalau tidak, eksekusi akan menimbulkan persoalan. Namun, terkait ini, penekanan pada tata kelola pemerintahan yang bersih amat penting.

Wabah Covid-19 memang punya banyak cerita tentang kematian, kehilangan penghasilan, pengangguran, dan air mata. Kita tahu, dalam situasi yang cemas ini, kita tak bisa membantu semua orang. Akan tetapi, setidaknya, seperti yang ditulis Rema Hanna pada tulisan sebelumnya: Jangan sampai pengorbanan terbesar justru dibebankan pada mereka yang paling rentan. (hjtp)

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Jumat, 24 April 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: