Muhamad Chatib Basri: Nasionalisme Vaksin dan Ekonomi

 

Muhamad Chatib Basri: Nasionalisme Vaksin dan Ekonomi

Nasionalisme Vaksin dan Ekonomi

Oleh: Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

 

Indonesia harus pulih lebih cepat sebelum negara lain, terutama AS, melakukan normalisasi kebijakannya. Apabila tidak, pasar keuangan akan terganggu. Kita tahu, ketidakpastian masih tinggi.

KOMPAS (22/4/2021) – Covid-19 seperti sekolah. Ia membuka jalan untuk masa depan lebih baik, tapi tak bisa memberi kata putus. Pendidikan, seperti juga vaksin, adalah syarat perlu, tetapi bukan kata akhir. Ada banyak faktor lain yang berperan. Namun, ia memberikan harapan, dan mungkin sedikit kepastian tentang masa depan. Kita butuh itu.

Ketidakpastian punya daya untuk membuat kita cemas dan gelisah. Pandemi adalah ketidakpastian yang belum bisa dikendalikan; dan vaksin adalah ikhtiar untuk membuat hidup menjadi lebih jinak, menjadi lebih patuh. Vaksin dipercaya menjadi jawaban terhadap pandemi ini, tetapi kita harus hati-hati.

Masih banyak yang samar. Lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Misalnya, mampukah vaksin mengatasi mutasi baru, apakah ia mampu melindungi dalam jangka panjang, apakah semua negara memiliki akses ke vaksin? Masalah utama vaksin saat ini adalah keterbatasan pasokan. Kebutuhannya jauh melampaui kemampuan produksi.

Masalah lain: ketimpangan dalam distribusi. Majalah The Economist menulis dengan sedih: negara kaya dengan populasi 14 persen penduduk dunia menguasai 53 persen dari total produksi vaksin. Sembilan dari sepuluh penduduk di negara miskin diperkirakan kesulitan mendapatkan vaksin. Ketimpangan dalam distribusi vaksin akan menyulitkan pemulihan global. Pandemi hanya bisa diatasi jika kekebalan komunitas (herd immunity) terjadi pada skala global.

Kalau tidak, pintu perbatasan antarnegara tetap tertutup. Lebih buruk lagi, gelombang ketiga pandemi mulai terjadi di beberapa negara. Bisa diduga setiap negara mendahulukan kepentingan dirinya. Kita menyebutnya nasionalisme vaksin.

Situasi ini mengingatkan saya pada prisoner’s dilema dalam game theory. Intinya: secara rasional orang memilih untuk tidak bekerja sama walaupun kerja sama sebenarnya akan memberikan hasil yang lebih baik.

Dalam nasionalisme vaksin—untuk mengatasi pandemi—banyak negara membatasi ekspor vaksinnya demi memenuhi kebutuhan domestik. Masuk akal, sayangnya dunia tidak bisa sepenuhnya bebas dari pandemi jika masih ada negara yang belum bebas darinya. Itulah dunia yang kita temui pagi ini.

Dampak bagi Indonesia

Apa dampaknya bagi Indonesia? Untuk menjawab itu, ada beberapa hal yang mungkin kita perlu perhatikan. Pertama, IMF menulis: pemulihan ekonomi global timpang. Negara yang lambat dalam vaksinasi, yang terbatas dalam stimulus ekonomi, dan amat bergantung pada aktivitas turisme, akan lambat pulih. Sebaliknya, negara yang cepat dalam vaksinasi, yang punya ruang untuk stimulus ekonomi, lebih cepat pulih.

Tak heran apabila China dan AS memimpin. Di Eropa, program vaksinasi tak sebaik di AS. Di negara berkembang dan negara miskin, situasi lebih sulit lagi. Akses terhadap vaksin terbatas. Dalam hal ini, Indonesia relatif baik. Kita termasuk sepuluh besar negara dengan jumlah pelaksanaan vaksinasi tertinggi. Bahkan di antara negara nonprodusen vaksin, kita nomor empat.

Saya kira kita pantas memberikan apresiasi untuk ini walau kita tahu tantangan masih panjang. Munculnya gelombang ketiga pandemi, keterbatasan pasokan vaksin, nasionalisme vaksin, mutasi virus, akan sangat menentukan pemulihan ekonomi global, termasuk Indonesia.

Kedua, pemulihan ekonomi akan tergantung kemampuan kita mengatasi pandemi. Peran vaksin dan protokol kesehatan amat penting. Studi saya bersama Syarifah Namira Fitrania (akan terbit) menunjukkan, keputusan orang untuk tinggal di rumah berkorelasi negatif dengan beberapa indikator ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan mobilitas, seperti penjualan suku cadang mobil, konsumsi BBM, rekreasi, dan penjualan motor.

Mobilitas yang rendah mengganggu skala ekonomi sehingga Indeks Manajer Pembelian (PMI), kapasitas produksi, dan penggunaan tenaga kerja juga menurun. Konsisten dengan itu, studi Office of the Chief Economist Bank Mandiri (OCE) menunjukkan, semakin tinggi mobilitas, semakin tinggi pula indeks belanja. Intinya, penurunan mobilitas sejalan dengan penurunan aktivitas belanja dan produksi.

Studi kuantitatif tahap awal yang saya lakukan juga menunjukkan adanya perubahan perilaku dalam mobilitas orang di Indonesia pascavaksinasi. Mobilitas meningkat setelah orang mendapat vaksin. Semakin tinggi cakupan vaksinasi yang diberikan, semakin tinggi pula mobilitas. Studi kuantitatif ini menunjukkan, kurang dari seminggu setelah vaksin diberikan, mobilitas meningkat.

Tentu data masih terbatas, dan perlu dilakukan studi dengan metodologi yang lebih baik. Namun, temuan ini memberikan optimisme bahwa pemberian vaksin meningkatkan mobilitas. Peningkatan mobilitas pada gilirannya akan meningkatkan aktivitas ekonomi, seperti belanja.

Temuan ini konsisten dengan laporan IMF bahwa pemulihan ekonomi akan banyak tergantung dari penyediaan vaksin. Itu sebabnya, saya menduga akselerasi pemulihan ekonomi akan terjadi pada paruh kedua 2021.

Alasannya, kepercayaan diri orang meningkat, orang mulai merasa aman dengan adanya vaksin, akibatnya aktivitas ekonomi mulai beranjak normal. Ini kabar baik. Namun, kita justru harus berhati-hati. Jika peningkatan mobilitas terjadi tanpa memperhatikan protokol kesehatan, ada risiko jumlah kasus positif akan kembali meningkat.

Selain itu, setiap kali liburan terjadi, kasus positif meningkat. Studi OCE menunjukkan, setiap kali pengetatan mobilitas dilakukan, indeks belanja mengalami penurunan. Karena itu, vaksinasi harus tetap diikuti oleh penerapan protokol kesehatan. Baik kita ingat: pandemi masih jauh dari selesai.

Ketiga, walau ada potensi percepatan pemulihan ekonomi pada paruh kedua 2021, keterlambatan vaksin—baik karena distribusi maupun nasionalisme vaksin—akan menunda proses pemulihan ekonomi. Keterlambatan vaksin juga bisa membuat pandemi meluas lagi. Akibatnya, proses pemulihan ekonomi jadi semakin berat, apalagi bagi negara yang kemampuan stimulusnya terbatas.

Saya menyarankan agar Pemerintah Indonesia lebih agresif melakukan diplomasi untuk memastikan ketersediaan pasokan vaksin. Dalam hal ini kerja sama internasional menjadi sangat penting. Forum G-20 bisa dimanfaatkan.

Bahkan, apabila dibutuhkan, Indonesia bisa mengambil inisiatif untuk mendorong pertemuan tingkat tinggi pemimpin dunia untuk mengatasi nasionalisme vaksin. Prisoner’s dilemma, yang saya singgung di atas, hanya bisa dipecahkan apabila ada koordinasi dan kerja sama.

Keempat, pemulihan yang timpang ini akan membawa dampak pada keseimbangan dan kestabilan ekonomi global. Ada dampak positif dan negatif. Positifnya, pemulihan ekonomi China dan AS akan mendorong ekspor kita. Harga komoditas dan energi, seperti batubara, kelapa sawit, dan karet naik.

Dampaknya, penerimaan pajak juga meningkat. Namun, saya mengingatkan, menggantungkan harapan pada siklus komoditas dan energi bukan kebijakan yang baik. Setelah siklus reda, Indonesia akan kembali terpukul.

Negatifnya: pemulihan ekonomi global yang timpang bisa mendorong ketidakstabilan pasar keuangan. Pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat menimbulkan kekhawatiran keluarnya arus modal dari emerging market.

Ekspansi fiskal di AS, melalui program stimulus Presiden Biden, akan meningkatkan suplai US T-Bills (surat utang jangka pendek Pemerintah AS). Implikasinya, harga US-10 year treasury notes turun dan imbalnya naik.

Pada awal April 2021, imbal US T-Bills sudah mendekati kondisi prapandemi. The Fed memang menampik kemungkinan pengurangan pembelian aset (tapering) segera, dan belum akan menaikkan tingkat bunga tahun ini. Tapi, pasar telah mengantisipasi: cepat atau lambat tingkat bunga jangka panjang akan naik.

Pasar keuangan akan ketat, harga aset akan turun. Seperti saya tulis di harian ini pada 9 Februari 2021, bagi Indonesia ada risiko terganggunya stabilitas pasar keuangan. Ketika imbal US-T-Bills meningkat, pasar obligasi dan saham cenderung bergejolak dan rupiah melemah.

Pilihan sulit

Kelima, apa yang harus dilakukan? Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dihadapkan pada pilihan sulit: stabilisasi pasar keuangan atau pemulihan ekonomi? Stabilisasi pasar keuangan tak mungkin dilakukan secara penuh ketika perekonomian masih lemah. Jika BI melakukan pengetatan moneter dan pemerintah melakukan pengetatan fiskal, demi stabilisasi ekonomi, pemulihan ekonomi akan terganggu.

Jika ruang bagi BI untuk menaikkan bunga amat terbatas, alternatif yang mungkin adalah kombinasi dari membiarkan rupiah bergerak mengikuti pasar—dengan tetap menjaga volatilitasnya—dan menerapkan kebijakan makroprudensial. Misalnya, jika swasta/ BUMN ingin meminjam utang luar negeri, mereka harus menempatkan persentase tertentu dari utang luar negerinya untuk ditahan di BI dalam jangka waktu tertentu, misalnya satu tahun.

Ini akan mengurangi utang jangka pendek swasta dan BUMN. Dari sisi pemerintah, UU mengatur bahwa defisit anggaran harus kembali ke 3 persen pada 2023, artinya konsolidasi fiskal harus dilakukan. Saran saya: lakukan ini dengan hati-hati sembari melihat kondisi ekonomi.

Karena penerimaan pajak masih rendah, perluas basis pajak dengan reformasi administrasi perpajakan, misalnya memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke Kantor Pajak Madya (MTO) yang memiliki jumlah staf pajak lebih banyak.

Harapannya, perlakuan terhadap badan usaha jadi lebih seragam sehingga beban pajak tak hanya ‘ditanggung’ oleh beberapa perusahaan besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh dan membayar pajak (lihat studi Basri, Mayara, Hanna, dan Olken di NBER 2019).

Evaluasi keefektifan insentif pajak yang telah diberikan selama ini. Jajaki pajak untuk energi tak terbarukan, termasuk pajak karbon, agar pemulihan bisa lebih hijau, lalu alokasikan uangnya untuk kesehatan, perluasan bantuan sosial seperti BLT, dukungan UMKM dan infrastruktur digital. Alokasi lain, bisa menunggu. Intinya, kombinasikan dengan perbaikan kualitas belanja.

Dari sisi investasi, industri, dan ekspor, undang PMA untuk masuk ke sektor yang berorientasi ekspor, terutama industri manufaktur. Caranya, implementasikan UU Cipta Kerja. Apa lagi? Terapkan apa yang saya sebut reverse Tobin Tax, di mana pemerintah memberikan insentif pajak jika investor menginvestasikan keuntungannya kembali.

Tampaknya ide yang saya sampaikan beberapa tahun lalu disambut baik dalam RPP Lembaga Pembiayaan Investasi (LPI) yang baru. Yang tak kalah penting, meningkatkan pendalaman keuangan (financial deepening) di pasar obligasi dan pasar modal, dengan meningkatkan peran investor dan tabungan domestik.

Caranya, berikan insentif agar lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal supaya porsi pembiayaan eksternal menurun. Perluas obligasi ritel atau private placement (penempatan tertentu). Optimalkan peran LPI untuk menarik modal bagi proyek infrastruktur.

Vaksin memang memberikan optimisme. Mobilitas mulai meningkat, aktivitas ekonomi mulai bergerak. Akselerasi pemulihan ekonomi mungkin akan terjadi dalam paruh kedua 2021.

Namun, kita harus tetap waspada. Ketidakpatuhan pada protokol kesehatan dapat memperburuk keadaan. Selain itu, ketersediaan pasokan dan distribusi vaksin bisa memperlambat, dan mengganggu pemulihan ekonomi.

Kita harus pulih lebih cepat sebelum negara lain, terutama AS, melakukan normalisasi kebijakannya. Bila tidak, pasar keuangan akan terganggu. Kita tahu, ketidakpastian masih tinggi. Vaksin adalah ikhtiar untuk membuat ketidakpastian menjadi lebih jinak, menjadi lebih patuh. Ia menjanjikan, tetapi tak memberi kata putus. Sama, seperti sekolah.

 

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/04/22/nasionalisme-vaksin-dan-ekonomi/

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: