Seorang pengusaha mengeluhkan, ”Tiap kali saya berurusan dengan pemerintah untuk urusan izin atau aturan usaha, saya menjadi lebih religius”.
Saya tersenyum kecut mendengar omongannya. Pengusaha yang duduk di depan saya itu mempunyai rekam jejak panjang dalam investasi.

Ia memang tidak secara khusus berbicara pemerintah mana yang ia maksud—ia mempunyai investasi di banyak negara—tetapi entah mengapa saya tiba-tiba teringat Indonesia. Ia benar: ketidakpastian begitu tinggi ketika kita berurusan dengan aturan birokrasi. Kerap kali, kita terpaksa pasrah dan hanya berdoa bahwa proses akan berjalan lancar dan cepat.

Ini bukan cerita baru. Presiden Joko Widodo bahkan di dalam pidato pertamanya sebagai presiden terpilih di Sentul, Jawa Barat, menunjukkan kegusarannya soal ini. Saya pernah menulis di harian ini: peraturan yang tidak konsisten dan berbelit adalah hambatan utama di negeri ini. Studi Bappenas juga menunjukkan hal itu. Karena itu, pidato presiden terpilih Jokowi memberikan harapan segar.

Hambatan aturan membuat biaya berusaha—termasuk biaya pesangon—menjadi relatif tinggi. Regulasi yang tidak efisien ini memberikan beban bagi dunia usaha. Hanya perusahaan besar yang sanggup menanggung beban ini. Perusahaan kecil dan menengah memilih menjadi informal. Inilah salah satu faktor yang menjelaskan mengapa lapangan kerja formal terbatas.

Saya pernah menulis di harian ini: peraturan yang tidak konsisten dan berbelit adalah hambatan utama di negeri ini.

Peran pemerintah

Berdasarkan data: walau secara keseluruhan persentase pengangguran terbuka menurun, persentase penganggur muda dengan pendidikan SMA/SMK ke atas meningkat. Pekerjaan yang tercipta adalah pekerjaan untuk mereka yang berpendidikan rendah atau informal. Ke depan, yang kita butuhkan bukan lagi sekadar tersedianya lapangan kerja, melainkan tersedianya pekerjaan yang baik (good jobs).

Infografis pertumbuhan bisnis Gojek di luar negeri.

Reformasi birokrasi dan penyederhanaan aturan menjadi kunci. Ironisnya, di sisi lain kita tahu, aturan dan perlindungan dibutuhkan, terutama bagi mereka yang kalah akibat kompetisi. Isu ini menjadi semakin penting ketika disrupsi dan inovasi terjadi begitu cepat. Pertanyaan yang paling penting: bagaimana pemerintah menempatkan posisinya dalam dunia yang berubah ini?

Ada beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan di sini. Pertama, di era disrupsi ini, siklus produksi menjadi begitu pendek. Sebuah barang atau produk akan cepat menjadi kedaluwarsa karena disrupsi yang terjadi.

Bagaimana pemerintah bisa membuat aturan jika aturan yang dibuat pada hari ini sudah tidak relevan lagi di tahun depan akibat disrupsi yang terjadi. Padahal, pembuatan undang-undang atau peraturan pemerintah membutuhkan waktu yang cukup panjang.

Regulator akan selalu kalah cepat dengan inovasi dunia usaha. Akibatnya, ia cenderung menjadi usang. Kita butuh birokrasi yang luwes (agile). Namun, agile bureaucracy adalah sebuah konsep yang kontradiktif (oxymoron).

Reformasi birokrasi dan penyederhanaan aturan menjadi kunci.

Birokrasi identik dengan aturan, petunjuk pelaksanaan, dan rantai komando yang jelas. Tujuannya baik: agar sistem bekerja dengan pasti. Keluwesan dan diskresi akan membuat sistem ini menjadi panik dan bingung. Ini merupakan sebuah persoalan yang amat pelik dan tidak hanya unik untuk Indonesia.

Saran saya: mungkin sudah saatnya cara pikir dan falsafah dalam membuat aturan diubah. Regulator tidak lagi mengatur secara rinci, tetapi lebih fokus untuk hal-hal yang prinsip. Dengan kata lain, kita mengubah kesepakatan kita, dari agree on ruleskepada agree on principal.

Sebagai contoh, jika pemerintah ingin mengatur tekfin atau ojek daring, tentukan saja standar yang diinginkan pemerintah, misalnya keselamatan, keamanan, pelindungan konsumen, kualitas kredit, data privasi, dan sebagainya. Mengenai caranya seperti apa, serahkan kepada pelaku untuk memikirkannya. Persoalannya, jika aturan itu tidak rinci, bagaimana ia bisa mengatur dengan baik? Saya tidak pandai benar menjawabnya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Syafruddin (kanan) menyerahkan penghargaan Top 99 Inovasi Pelayanan Publik di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (18/7/2019). Jateng menjadi provinsi dengan inovasi pelayanan publik terbanyak pada 2019.

Kedua, jika pemerintah fokus pada prinsip dasar, pertanyaanya adalah instrumen apa yang bisa digunakan untuk mengarahkan pelaku ekonomi (produsen dan konsumen) sesuai dengan target pemerintah? Di sini sistem insentif dan disinsentif menjadi penting.

Pajak dan cukai bukanlah tujuan, tetapi ia merupakan alat dari pemerintah untuk mencapai tujuannya. Kita punya contoh yang baik untuk ini: tujuan pemerintah untuk memperbaiki sumber daya manusia, misalnya, dapat dicapai dengan meminta swasta melakukan pelatihan serta research and development (R&D).

Insentifnya, memberikan potongan pajak berganda untuk aktivitas itu. Ini langkah yang tepat dan perlu diapresiasi. Dalam upaya peningkatan energi terbarukan, misalnya, pemerintah bisa memberlakukan cukai untuk bahan bakar minyak (BBM).

Pajak dan cukai bukanlah tujuan, melainkan ia merupakan alat dari pemerintah untuk mencapai tujuannya.

Cukai akan mengurangi konsumsi BBM, dan mendorong orang pindah kepada energi terbarukan atau mobil listrik. Dalam kasus lain, misalnya, pemerintah berusaha mengurangi konsumsi minuman keras, rokok, atau plastik untuk pindah ke produk alternatif yang lebih baik dengan cukai dan pajak.

Di sini sebenarnya kita hanya bicara bagaimana memengaruhi permintaan. Sebenarnya, kita juga harus berpikir bagaimana memengaruhi sisi produsen: misalnya memberikan potongan pajak untuk aktivitas ekonomi yang ramah lingkungan, ramah energi terbarukan, ramah pengelolaan sampah (waste management), dampak ekternalitas yang lebih rendah, atau ramah kesehatan.

Insentif bisa digunakan misalnya guna mendorong perusahaan melakukan inovasi untuk menghasilkan produk yang bisa memperbaiki kualitas kesehatan. Jika ini dilakukan, ia akan membantu tindakan pencegahan dan mengurangi biaya untuk tindakan kuratif. Sumber pembiayaannya dapat berasal dari cukai atau pajak yang dipungut itu.

Ketiga, Kenneth Rogoff dari Harvard University baru-baru ini menulis sebuah artikel yang menarik, ”Big tech has too much monopoly power–it’s right to take it on.” Ia menyampaikan kekhawatirannya tentang kekuatan monopoli perusahaan teknologi besar.

Ada hal yang menarik dalam soal perusahaan teknologi ini, yaitu proses inovasi dan disrupsi yang terjadi menuntut perusahaan untuk terus melakukan investasi demi mempertahankan balas jasa investasinya.  Akibatnya, hanya mereka yang memiliki pangsa pasar yang besar yang bertahan. Rumitnya, kita tidak lagi bisa menggunakan pendekatan konvensional antimonopoli untuk soal ini. Mengapa? Perusahaan teknologi, khususnya yang padat data (data driven) membutuhkan skala yang besar.

Raghuram Rajan, mantan Gubernur Bank Sentral India, menulis: dibutuhkan data yang amat banyak untuk membuat sebuah platform menjadi lebih akurat dan efektif. Ia memberi contoh bagaimana Waze akan lebih akurat jika data yang dikumpulkan jauh lebih banyak. Akibatnya, dengan memiliki Waze,  Google akan mampu memperbaiki aplikasi Maps-nya. Contoh lain bagaimana Facebook menjadi bernilai jika penggunanya semakin banyak.

Ada hal yang menarik dalam soal perusahaan teknologi ini, proses inovasi dan disrupsi yang terjadi menuntut perusahaan untuk terus melakukan investasi demi mempertahankan balas jasa investasinya.

Dalam kondisi seperti ini, pendekatan antimonopoli terhadap perusahaan teknologi harus berbeda karena ada kebutuhan mereka untuk menjadi monopoli agar lebih efektif. Persoalannya adalah, apakah membiarkan mereka menjadi monopoli tidak membahayakan, seperti kekhawatiran yang diangkat politikus Amerika Serikat, Elizabeth Warren. Tak hanya itu, isu mengenai kerahasiaan data menjadi isu sangat sensitif dan krusial saat ini. Bagaimana pemerintah harus menempatkan dirinya dalam situasi seperti ini?

Birokrasi yang luwes

Keempat, saya percaya bahwa teknologi disruptif akan membawa dampak positif bagi tenaga kerja dengan peningkatan efisiensi dan fleksibilitas bekerja. Ia bahkan akan menyediakan lapangan kerja baru dalam jangka panjang.

Persoalannya, proses penyesuaian ke sana tidak mudah. Akibatnya, dalam jangka pendek akan ada mereka yang tertinggal. Sebagai contoh, ke depan, kemampuan memberikan informasi mungkin bukan lagi hal yang penting karena Google searchsudah menyediakan itu.

Yang akan bertahan bukanlah mereka yang bisa meniru kemampuan Google dalam memberikan informasi atau menjawab pertanyaan, melainkan mereka yang bisa membuat pertanyaan yang Google tidak mempunyai jawabannya.

Saya ingat Risto Siilasmaa, chairman Nokia, berbicara di Astana Economic Forum pada Mei lalu: dengan disrupsi yang terjadi saat ini, gelar kesarjanaan kita akan kedaluwarsa dalam 20 tahun. Ia tidak lagi relevan. Pengetahuan akan kedaluwarsa, tetapi rasa keingintahuanlah yang akan membuat seseorang bertahan.

Dalam era seperti ini, semua harus mampu beradaptasi dengan perubahan. Pemerintah perlu mengkaji ulang perannya. Ia mungkin tidak lagi perlu terlibat dalam hal yang rinci (rules), tetapi ia berubah menjadi fasilitator dan mengatur hal yang prinsip.

Saya teringat Leon Meggison yang merujuk Darwin, ”Bukan makhluk yang paling cerdas atau kuat yang akan bertahan, melainkan mereka yang mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahanlah yang akan bertahan”.

Pemerintah juga bisa menggunakan instrumen fiskalnya, seperti pajak dan cukai untuk mendorong agar iklim investasi yang pro inovasi dapat berkembang. Dan seperti pidato presiden terpilih Jokowi di Sentul beberapa waktu lalu: semua ini harus didukung birokrasi yang lebih luwes, yang sanggup menghadapi perubahan.

Saya teringat Leon Meggison yang merujuk Darwin, ”Bukan makhluk yang paling cerdas atau kuat yang akan bertahan, melainkan mereka yang mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahanlah yang akan bertahan”. Tanpa itu, investasi akan berujung pada 3 W: watch, wait and worry.

(Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)

Sumber : Harian Kompas 02 Agustus 2019