PE UI Gelar Seminar tentang Tata Kelola Gas Indonesia

 

PE UI Gelar Seminar tentang Tata Kelola Gas Indonesia

Permasalahan tata kelola sumber energi gas di Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan tepat agar mendapatkan solusi terbaik. Saat ini, tata kelola gas di Indonesia belum difokuskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Setidaknya 50 persen dari ketersediaan gas di Indonesia dikirim untuk kebutuhan ekspor. Meski berguna sebagai sumber devisa, hal tersebut masih dirasa kurang tepat karena tujuan utama gas sebagai modal pembangunan tidak dapat terwujud.

Hal tersebut kemudian menjadikan lembaga Pengkajian Energi Universitas Indonesia (PE UI) tergerak membahasnya dalam seminar bertajuk “Quo Vadis Sistem Tata Kelola Gas Indonesia”. Bertempat di Aula Fakultas Kedokteran UI, seminar dihadiri oleh tiga pembicara, yaitu Direktur PT PGN, Jobi Tiananda, Direktur Utama PT Pertagas Niaga, Jugi Prajogio, dan Kepala Pusat Studi Energi UGM, Dr. Deendarlianto.

Acara dibuka dengan sambutan dari Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan, dan Kerja Sama Industri, Prof. Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD(K). Dalam sambutannya, ia menyampaikan harapannya agar seminar tersebut dapat memberikan solusi dan masukan positif untuk tata kelola gas di Indonesia. Acara dilanjutkan dengan keynote speech oleh Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ir. Susilo Siswoutomo. Susilo antara lain menyampaikan soal kondisi gas dari hulu hingga hilir, termasuk aturan tentang open access dan unbundling yang saat ini masih dibahas lebih lanjut oleh Kementerian ESDM. “Mari kita beresin sama-sama,” pungkasnya.

Membuka sesi seminar, Ketua PE UI, Prof. Dr. Ir. Iwa Garniwa M. K., M.T. menyampaikan bahwa dengan cadangan gas yang hanya 1,6 persen dan masih rendahnya konsumsi energi gas dalam negeri sebesar 1,1 persen, Indonesia seharusnya tidak menjadikan kebijakan ekspor gas sebagai andalan. Lebih lanjut, ia mengkritisi kebijakan open access (pemanfaatan pipa bersama) dan unbundling (pemisahan usaha niaga dan transportasi). Kebijakan tersebut, kata dia, terbukti memunculkan sedikitnya 63 pedagang gas. Akan tetapi, sebagian besar dari mereka tidak memiliki pipa untuk mendistribusikan gas. “Artinya, bahwa para pedagang lebih menyukai menjadi pedagang gas langsung daripada penyalur yang harus membangun infrastruktur gas dengan investasi besar,” ucap Iwa.

Direktur Utama PT PGN, Jugi Prajogio, menambahkan, Indonesia saat ini berada dalam fase pembangunan infrastruktur untuk menciptakan pasar gas yang efisien. Dalam menjalankan komitmen pembangunan infrastruktur tersebut, lanjutnya, PGN membutuhkan bentuk dukungan untuk menerapkan skema pengembangan infrastruktur secara mandiri tanpa membebani APBN. Ia juga menekankan bahwa Indonesia saat ini sebaiknya fokus pada upaya percepatan pembangunan infrastruktur domestik untuk memperluas jangkauan peningkatan pemanfaatan gas bumi domestik.

Sejalan dengan hal tersebut, Dr. Deendarlianto menjelaskan perbandingan tata kelola gas di negara yang menerapkan dan tidak menerapkan unbundling dan open access. Dari sejumlah penelitian yang dilakukannya, ia menyimpulkan bahwa open access dapat diterapkan di negara-negara yang sudah mempunyai infrastruktur gas yang baik. Kondisi saat ini, indeks infrastruktur gas di Indonesia masih rendah sehingga belum dapat menjangkau semua wilayah.

Meskipun demikian, Jugi Prajogio memandang bahwa open access adalah pilihan terbaik. Kebijakan tersebut menurutnya dapat menjamin efisiensi dan efektivitas ketersediaan minyak dan gas sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku. Ia juga menyebutkan bahwa penting bagi pemerintah—dalam hal ini Kementrian ESDM dan BPH Migas—untuk memiliki otoritas dalam menetapkan ruas yang dapat dijadikan open access dan ruas yang tetap menjadi dedicated hilir. (KHN)

 

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: