Peralihan Harta Waris bagi Perempuan di Pesantren

 

Peralihan Harta Waris bagi Perempuan di Pesantren

Persoalan waris merupakan salah satu penyebab konflik di antara manusia. Polemik yang muncul dari ketentuan pembagian harta waris pun beragam.  Apalagi ketika berbicara tentang hukum Islam sebagai salah satu ketentuan hukum waris yang dilihat dari wacana kesetaraan dan keadilan gender. Pembedaan perlakuan pada perempuan dan laki-laki dalam Islam-termasuk dalam ketentuan hukum-membuat sebagian kalangan menganggap hukum Islam sebagai hukum yang tidak berkeadilan gender dan seakan-akan tidak memperhitungkan perempuan sebagaimana makhluk yang setara dengan laki-laki.  Pembedaan ketentuan waris dalam Islam didasarkan pada dua hal, yaitu kedudukan ahli waris di depan pewaris dan jenis kelamin ahli waris. Pembedaan ini menjadikan wacana waris penting untuk dipahami, baik secara konsep hukumnya ataupun dalam praktik hukum waris di kalangan masyarakat muslim.Berangkat dari latar belakang tersebut, Iklilah Muzayyanah Dini Fariyah, Kepala Pusat Riset Gender Program Pascasarjana Universitas Indonesia memilih topik perempuan dalam peralihan harta waris untuk penelitian disertasinya. Ia meneliti praktik waris di pesantren dan pemaknaannya terhadap konsep waris, serta cara-cara penyelesaian kewarisan keluarga melalui pengalaman perempuan pesantren. Penelitian Iklilah bertujuan untuk membangun pengetahuan tentang bagaimana hukum waris Islam yang tekstual dogmatis dimaknai dan dipraktikan dalam lingkungan masyarakat pesantren serta menegaskan posisi perempuan dalam sejarah praktik hukum waris yang telah membentuk pemaknaan baru atas konsep waris dan konsep adil dalam kewarisan. Penelitian kualitatif ini melibatkan lima nyai dari empat pesantren sebagai subjek penelitian dan 11 pesantren di Jawa Timur dengan jumlah informannya yang bervariasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keseluruhan praktik dan tindakan yang ada dalam kewarisan keluarga pesantren merupakan karakteristik kewarisan yang penuh kompromi. Tindakan kompromi ini dapat dilihat dari prinsip saling rela dalam negosiasi (‘an taradhin), serta cara-cara perempuan melakukan strategi dalam negosiasi dan memposisikan harta waris yang tidak merujuk hanya pada kewarisan materi.Iklilah berhasil mempertahankan disertasinya ini dalam sidang doktoralnya yang dipimpin oleh Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, Ms, dengan para pengujinya antara lain; Prof. Dr. Sulistyowati Suwarno, M.A., Irwan Martua Hidayana, Ph.D, Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A., Dr. Gadis Arivia, M.A., Dr. Ida Ruwaida, M.Si., Dr. Dian Sulistiawati, M.A. Ia meraih gelar doktor dengan predikat sangat memuaskan dalam sidang yang digelar pada hari Senin (10/07), di Auditorium Juwono Sudarsono ini.(Humas-FISIP UI)

Kategori Target Audience: 
Kategori Konten: