Strategi Negosiasi Bantu Penderita HIV Atasi Dominasi Institusi

 

Strategi Negosiasi Bantu Penderita HIV Atasi Dominasi Institusi

Mereka yang terjangkit The Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat mengatasi stigma dari institusi yang dominan seperti masyarakat. Adanya proses negoisasi dinilai dapat membuat Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) mengambil alih kekuasaan dari pihak yang mendominasi tersebut.

Hal itulah yang dibicarakan dalam seminar “Managing HIV in Marital Relationship and Transnational Sexuality: Indonesian Grandmothers Dancing as Man” yang digelar di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Kamis (11/9/2014). Acara yang digelar Pusat Kajian Antropologi FISIP UI ini menghadirkan Antropolog dari The Australian National University, Monika Winarnita, Ph.D. Selain itu, diundang pula Antropolog UI, Irwan M. Hidayana, Ph.D. Namun, Irwan berhalangan hadir sehingga moderator, Clara Endah Triastuti, Ph.D., menggantikan Irwan membacakan makalah.

 

Negosiasi Seksual dan Dominasi Masyarakat

Dalam presentasi Monika, yang dikutip dari salah satu bab disertasinya, ia menggali sisi negosiasi seksual, gender, usia, dari sejumlah tarian khas budaya Indonesia. Ia meneliti tarian dari sejumlah wilayah yang dimainkan oleh seorang penari perempuan Jawa bernama Endang di Australia. Monika melihat perempuan tua gemuk yang tidak boleh lagi tampil dalam ajang budaya di Australia, terhalang oleh institusi yang dominan seperti Konsulat Jenderal.  “Karena itu, mereka mengambil peran laki-laki untuk boleh menari,” papar Monika.

Dikatakan moderator Clara yang akrab disapa Titut, pemaparan Monika menggambarkan sebuah bentuk politik seksual melalui dominasi yang ada di masyarakat. Dalam kasus Endang, institusi yang mendominasi adalah Konsuat Jenderal. Karena itu, dibutuhkan proses negosiasi perempuan dengan caranya sendiri untuk mengambil alih kekuasaan yang direbut oleh pihak dominan. “Misalnya dengan cara menjadi penari laki-laki,” kata Titut. Hal tersebut dinilai penting, agar kekuasaan dari pihak dominan yang umumnya merugikan perempuan, dilawan dengan cara kreatif atau usaha natural untuk tetap memiliki kekuasaan.

 

Dukungan Keluarga vs Stigma Negatif Masyarakat

Sementara itu, dari makalah yang ditulis Irwan dengan judul, “Negotiating Risk: Navigating HIV and Reproduction in Marital Relationships”, bentuk negosiasi yang dilakukan penderita HIV adalah dengan dorongan di tingkat personal. Menurut penyampaian Titut yang dinukilkan dari makalah Irwan, hubungan personal penyandang HIV dengan keluarga pasangannya dapat menegosiasikan stigma yang diberikan institusi dominan seperti masyarakat.

“Stigma tak berlaku di tingkat personal. Ada dorongan dalam lingkungan yang lebih besar. Tapi, di relationship yang lebih personal bisa lebih suportif sehingga mereka berani membuka diri,” tuturnya.

Titut juga menekankan bahwa antara laki-laki dan perempuan yang terjangkit HIV dan sudah dalam hubungan perkawinan (marital relationship), perempuan lebih sulit melakukan negosiasi. Perempuan, katanya, berusaha dengan caranya sendiri untuk mengambil alih kekuasaan, misalnya dengan menunggu kesempatan bercerita. Bentuk negosiasi lain yang dilakukan perempuan adalah dengan menghindari hubungan seksual.

Setelah itu, ia pura-pura kaget pada pasangannya ketika dokter mengabari tentang virus yang menjangkiti dirinya. Dalam makalah Iwan, orang yang terjebak pada situasi tersebut harus dibantu dengan menciptakan hubungan personal, misalnya, antara penderita dengan keluarga pasangan. Hubungan personal yang baik, akan mendorong orang yang terjangkit HIV untuk membuka diri.

Diskusi yang berlangsung selama tiga jam tersebut adalah rangkaian dari kegiatan Pekan Seminar FISIP UI 2014. Pekan seminar telah dimulai pada Senin (8/9/2014) dengan seminar oleh Departemen Sosiologi dan berakhir pada Senin (29/9/2014) mendatang dengan agenda seminar Departemen Kriminologi. (DPN)

(Ilustrasi: www.gettyimages.com)

Kategori Target Audience: 
Kategori Konten: