Talkshow Dies Natalis FEB UI ke-69 Tahun Paparkan Reformasi Fiskal dan Amnesti Pajak dari Sisi Dalam Maupun Luar Negeri

 

Talkshow Dies Natalis FEB UI ke-69 Tahun Paparkan Reformasi Fiskal dan Amnesti Pajak dari Sisi Dalam Maupun Luar Negeri

Talkshow Dies Natalis FEB UI ke-69 Tahun Paparkan Reformasi Fiskal dan Amnesti Pajak dari Sisi Dalam Maupun Luar Negeri

 

Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI

JAKARTA – Rangkaian Dies Natalis ke-69 Tahun, FEB UI kembali mengadakan Talkshow “Fiscal Reform and Tax Amnesty: Global Experience and Lessons Learned” yang dimoderatori oleh Monica Romelina Sijabat selaku Dosen dari Departemen Akuntansi yang bertempat di Auditorium Sinarmas, Gedung Magister Akuntansi, Jumat (27/9/2019).

Dekan FEB UI sekaligus Rektor UI Terpilih Periode 2019–2024, Ari Kuncoro menyampaikan bahwa hari ini merupakan hari berbahagia, karena FEB UI sedang merayakan rangkaian Dies Natalis ke-69 tahun yang diisi oleh kuliah umum dan talkshow dari dosen tamu Harvard Kennedy School dan praktisi dari Indonesia. Rangkaian Dies Natalis ini disponsori oleh Monica Romelina Sijabat yang juga memandu jalannya talkshow ini. Semoga ini memberikan manfaat luar biasa bagi FEB UI dalam meningkatkan jaringan Internasional dan ekposure serta meningkatkan pengetahuan untuk kita.

Adjunct Lecturer in Public Policy at the Harvard Kennedy School, Jay K. Rosengard memaparkan tax amnesty merupakan tawaran waktu terbatas oleh pemerintah kepada kelompok wajib pajak tertentu untuk membayar jumlah tertentu dengan imbalan pengampunan kewajiban pajak (termasuk bunga & denda) yang berkaitan dengan periode pajak sebelumnya dan juga bebas dari tuntutan hukum.

Alasan kuat untuk dilakukannya kebijakan tax amnesty melihat dari sisi kesenjangan fiskal, basis pajak yang sempit & tidak adil, mendorong repatriasi aset yang diadakan di luar negeri untuk mempromosikan investasi domestik, reformasi pajak, tekanan politik, last resort terhadap gejala kelemahan mendasar dalam kebijakan pajak dan administrasi pajak.

“Sementara itu, hal yang mendasari untuk mendapatkan tax amnesty bahwa sulitnya menilai hasil pengampunan pajak khususnya dampak jangka panjang pada kepatuhan sukarela wajib pajak. Pengamatan empiris pada amnesti yang relatif sukses yang dilakukan sebagai bagian dari reformasi pajak komprehensif yang membahas penyebab mendasar ketidakpatuhan, sehingga meningkatkan biaya penghindaran (probabilitas deteksi yang diharapkan, biaya finansial dan nonfinansial jika terdeteksi, probabilitas penegakan yang diharapkan) dan mengurangi manfaat penghindaran,” tuturnya.

Jenis amnesti yang paling umum di antaranya mengidentifikasi & membebani pendapatan & aset domestik, mengidentifikasi pajak, memulangkan pendapatan dan aset luar negeri. “Berdasarkan hasil global terhadap evaluasi empiris amnesti pajak ketika dinilai dengan benar maka akan gagal mencapai tujuan kebijakan fiskal. Pendapatan pajak bersih yang dihasilkan dapat diabaikan, keuntungan tidak berkelanjutan, basis pajak tidak diperluas secara signifikan. Perubahan dalam kepatuhan sukarela bersifat ambigu terutama perilaku jangka panjang,” katanya.

Sedangkan studi kasus di Indonesia terhadap amnesti pajak yang terjadi pada Juli 2016 – Maret 2017 untuk penghapusan kewajiban pajak, denda administrasi, dan sanksi pidana dengan deklarasi sukarela atas aset domestik atau asing yang sebelumnya tidak dilaporkan. Dari hasi tersebut terdapat peserta yang relatif besar (973.426 atau 2,5% dari total wajib pajak pada tahun 2017), pendapatan yang signifikan dari uang tebusan (Rp114,54 tiliun atau 10,0% dari total pendapatan pajak pada tahun 2017), deklarasi aset substansial (Rp 4,884,26 tr) tetapi Beberapa aset yang dipulangkan (Rp146,7 triliun atau 3,0% dari total aset dinyatakan)

“Hal ini memberikan dampak positif untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan restrukturisasi melalui repatriasi aset, menciptakan basis pajak yang lebih luas dan sistem pajak yang lebih adil melalui basis data yang lebih valid, komprehensif & terintegrasi, dan meningkatkan pendapatan pajak untuk membiayai pembangunan Indonesia,” tutupnya dalam pemaparan materi presentasi.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan RI, Suahasil Nazara mengatakan konsumsi rumah tangga Indonesia tumbuh stabil di atas 5% sesuai dengan inflasi yang terjaga. Pertumbuhan konsumsi pemerintah tertinggi sejak 2014 didorong oleh tingginya realisasi belanja pegawai, barang, dan pengeluaran lainnya, dan kebijakan fiskal yang ekspansif di tengah ketidakpastian global.

Pertumbuhan PDB Q-2 2019 berdasarkan produksi menunjukkan kinerja positif terutama didukung oleh kegiatan pertanian dan jasa. Pertumbuhan manufaktur masih di bawah ekspektasi, melambat 3,54% karena kontraksi di industri pengkilangan minyak dan gas dan peralatan transportasi, industri karet, pertanian, perikanan, peralatan transportasi, peralatan mesin, dan barang-barang logam.

“Realisasi investasi pada Q2 2019 mencapai Rp200,5 triliun, tumbuh sebesar 13,7% (yoy). Pencapaian ini telah mencapai 49,9% dari target realisasi investasi pada 2019. Sementara, investasi domestik tumbuh sebesar 18,6% dan realisasi FDI tumbuh positif 9,6% setelah dikontrak selama 4 kuartal,” imbaunya.

Peningkatan kinerja investasi didukung oleh sentimen positif baik dari eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, berkurangnya perang dagang antara Amerika dan Cina adalah katalis bagi investor asing yang kembali ke Indonesia. Sedangkan sisi internal, peningkatan Investasi langsung didukung oleh kondisi politik yang stabil. Sehingga, realisasi investasi menyerap 255.314 pekerja.

Strategi kebijakan fiskal untuk 2020 dengan mobilisasi pendapatan, belanja negara yang efektif, pembiayaan yang kreatif. Gambaran besar tentang anggaran 2020 bahwa APBN dirancang untuk mendukung percepatan daya saing dan kualitas sumber daya manusia. Postur penerimaan APBN diarahkan untuk tetap ekspansif untuk mendorong perekonomian dengan tujuan yang lebih terarah dan terukur. Sedangkan, pengeluaran negara tahun 2020 berfokus mendukung pelaksanaan prioritas pembangunan, terutama pengembangan SDM dan pembiayaan anggaran yang efisien untuk kegiatan produktif.

Kebijakan perpajakan diarahkan untuk meningkatkan iklim investasi dan daya saing di 2019 dengan penguatan layanan, penyederhanaan registrasi, ekstensifikasi meja layanan, ekstensifikasi cakupan pengisian, dan penyederhanaan Restitusi. didukung juga oleh penegakan hukum yang adil dengan eningkatkan kualitas pemeriksaan melalui praktik tata kelola yang baik.

“Kebijakan dirancang tidak hanya di sisi penghasilan tetapi juga pengeluaran dalam bentuk laporan yang bersifat, di antaranuya transparansi, diperlukan laporan untuk menganalisis efektivitas kebijakan fiskal terutama untuk meminimalkan risiko beban pajak yang berlebihan yang dapat mengganggu stabilitas fiskal, akuntabilitas, dan identifikasi dukungan pemerintah terhadap ekonomi,” jelasnya.

“Maka, strategi untuk mengoptimalkan pendapatan pajak dengan meningkatkan kepatuhan pajak & kualitas serta mengaudit layanan pajak melalui sistem teknologi informasi, memperkuat administrasi pajak, menyamakan bidang bermain level, kemudahan proses bisnis khususnya untuk pengembalian pajak, menerapkan AeOI program bersama antara DJP, DJBC, dan pihak lain untuk meningkatkan kepatuhan pajak, memperluas barang cukai & penyesuaikan tarif cukai untuk produk tembakau, melanjutkan pemberantasan penyelundupan & mengendalikan barang-barang ilegal, dan memperluas fasilitas pajak untuk zona pemrosesan ekspor (KITE) untuk UKM,” tutupnya. (Des)

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: