Mencegah dan Membatasi Cyber Crime di Masa Pandemi

Image: 

 

Mencegah dan Membatasi Cyber Crime di Masa Pandemi


Pandemi Covid-19 tidak hanya membutuhkan solusi dari bidang kesehatan dan ekonomi, tapi juga respon dengan pendekatan sosial budaya karena makin meluasnya penyebaran virus tersebut dan sulitnya mengatasi pandemi ini lebih merupakan masalah sosial budaya dari pada masalah kesehatan. Salah satu masalah sosial yang muncul adalah kejahanan di dunia maya (cyber crime) terutama karena maraknya pengunaan media sosial pada masa pandemi. Platform seperti Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, Telegram serta Whatssapp banyak digunakan untuk kejahatan.

Berbagai fitur yang memudahkan dan jaminan kemanan seperti chat yang terenkripsi (seperti yang dimiliki Telegram) menjadi daya tarik bagi kelompok teror. Fenomena kejahatan di dunia maya ini menjadi sangat penting untuk dibahas dan didiskusikan bersama, mengingat di masa pandemi masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya, tidak hanya untuk belajar dan bekerja tapi juga untuk bertransaksi dan bersosialisasi.

Seri 03 Webinar FISIP UI 2020 membahas “Mencegah dan Membatasi Cyber Crime di Masa Pandemi” pada Rabu (12/8) melalui platform Youtube dan Zoom. Sebagai narasumber, Kisnu Widagso, S.Sos., M.T.I. (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI) dan Dr. Didik Rahmanto (Satuan Tugas Anti Teror Polri). Sebagai pembahas, Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A (Dosen Departemen Kriminologi FISIP UI) dan Dr. Bagus Sudarmanto. (Jurnalis Senior & Alumnus S3 Departemen Kriminologi FISIP UI). Di moderatori oleh Ariani Hasanah Soejoeti (Marketing & Communication Specialist USAID YEP Project).

Kisnu menjelaskan, pada penelitian tentang bencana di tahun 1970-an, bencana dianggap sebagai peristiwa  yang dapat memperkuat solidaritas masyarakat karena menyadarkan masyarakat akan adanya ancaman yang datang dari dari luar. Bencana juga dianggap dapat mengurangi konflik yang terjadi di dalam masyarakat. Sedangkan hasil penelitian tentang bencana yang diterbitkan mulai tahun 2015-an, menunjukkan bahwa  terdapat banyak bukti bahwa seiring terjadinya bencana, tindakan anti-sosial dan kejahatan juga ikut terjadi. Bencana memiliki kecenderungan tinggi untuk  menghasilkan ketidakstabilan sosial dan  ketidaknormalan, menciptakan anomie yang  luas di masyarakat yang dilanda krisis.

Peningkatan perilaku digital pada saat pandemi ini semakin meningkat karena masyarakat diminta untuk tetap dirumah maka diterapkan contohnya seperti work from home, school from home, shop from home dan lain sebagainya.

“Maka peningkatan penggunaan distributed  computing yang menjadikan pengelolaan keamanan sistem  informasi semakin sulit, peningkatan penggunaan mobile computing menjadikan semakin  banyaknya kesempatan untuk masuk ke dalam jaringan dan melakukan  pencurian atau perubahan informasi dan peningkatan secara dramatis  penggunaan internet dan broadband yang di sisi lain merupakan eksposure terhadap resiko keamanan sistem informasi. Banyak korban dari cyber crime tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban karena korban tidak dapat dengan mudah mengidentifikasi kalau sesuatu yang menimpanya adalah kejahatan, korban enggan melapor, takut  terhadap publisitas atau dipandang dapat merusak  reputasi dan apatis,” ujar Kisnu.

Dikdik menjelaskan di lihat dari aktivitas cyber jihadist di masa  pandemi, 9P dalam memahami  penggunaan  internet untuk  tujuan terror yaitu propaganda, perekrutan, pendanaan, pembentukan paramiliter, pelatihan, penyediaan logistik, perencanaan, pelaksanaan serangan terror dan persembunyian. Perpindahan aktivitas kelompok terorisme dengan memanfaatkan media sosial maupun platform-platform online atau yang disebut dengan Cyber Jihad ternyata juga  dilakukan oleh kelompok teroris di Indonesia. Aktivitas cyber kelompok teror berafiliasi ISIS selama pandemi,seperti oleh kelompok JAK (Jama' Ah Ansharut Khilafah), MIT (Mujahidin Indonesia Timur), eks napiter dan deportan. Aktivitas cyber kelompok teror berafiliasi Al Qaeda selama pandemi oleh kelompok JAS (Jama' Ah Ansharut Syariah), beberapa anggota JAS masih melanjutkan aktivitas suro di tengah pandemi. Selain itu, mereka juga menggunakan media teleconference.

“Kelompok Al Qaedah dan ISIS pada kondisi yang normal akan melakukan  kejahatan (kajian dengan tujuan menanamkan radikalisme, ekstremisme,dan terorisme) di ruang fisik mengalami represi  (dalam hal ini situasi pandemi akibat Covid-19) sehingga mereka melakukannya di dunia maya. Selain itu, kajian secara online juga dirasa lebih aman (risiko tertangkap lebih rendah. Platform seperti Zoom telah memiliki tindakan pengamannya sendiri  seperti password dan waiting room sebelum bergabung dengan event yang diselenggarakan secara online melalui Zoom. Sehingga para pelaku  sendiri sudah bisa melakukan screening terhadap partisipannya sehingga tidak mudah disusupi,” jelas Dikdik.

Menurut Kisnu pencegahannya bisa melalui tataran kebijakan maka yang perlu dilakukan adalah peningkatan kapasitas masyarakat tentang digital literacy, pemerataan akses terhadap infrastruktur teknologi informasi, serta pembenahan peraturan terkait penyelenggaraan aplikasi teknologi  informasi, termasuk penyelenggaraan pemerintahan yang transparan.

Prof Mustofa memberikan kalimat penutup untuk webinar ini, “kriminologi harus mampu berperan menjelaskan gejala kejahatan dalam berbagai keadaan. Sekarang ini seluruh dunia sedang menghadapi ancaman pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 telah mengubah perilaku sosial warga  masyarakat, perubahan perilaku tersebut juga terjadi dalam bidang  kriminalitas. Teknologi cyber menjadi alternatif cara berinteraksi sosial ketika  terjadi pandemi Covid-19. Paparan dari Kisnu Widagso dan Didik Novi Rahmanto merupakan contoh yang baik bagaimana kriminologi berperan dalam menjelaskan gejala kejahatan dalam masa pandemi Covid- 19, khususnya  penggunaan teknologi cyber untuk tujuan  kejahatan.”       

Kategori Target Audience: 
Kategori Konten: 
Sumber Informasi: