Tantangan Pemilu Berintegritas: Penyelenggara dan Pelanggaran Etika dalam Pemilu di Indonesia

Image: 

 

Tantangan Pemilu Berintegritas: Penyelenggara dan Pelanggaran Etika dalam Pemilu di Indonesia

Pemilu mensyaratkan adanya para penyelenggara pemilu yang berintegritas tinggi unutuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan bagi semua pihak. Apabila ada para penyelenggara pemilu lemah yang ditunjukkan dengan keberpihakan dan ke-tidak netral-an dalam penyelenggaraan tersebut, maka besar potensi untuk menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas.

Penyelenggaran pemilu yang dimaksud adalah terdiri atas anggota KPU, anggota Bawaslu dan segenap jajaran dibawahnya. Sejak reformasi 1998, pemilu di Indonesia mengalami banyak perubahaan kelembagaan yang signifikan. Salah satunya adalah pembentukan penyelenggaraan pemilu yang mandiri dan bebas dari intervensi kepentingan politik.  

Pada kenyataannya, fakta pada lapangan pemilu banyak kecurangan dan banyak hal-hal pelanggaran yang dilakukan oleh oknum panitia pemilu maupun oleh pemilih. Isu seperti ini memang menjadi sangat sensitif terlebih lagi pada saat pemilu 2019. Isu tentang manipulasi dan malpraktik pemilu masih banyak dilakukan.

Dr. Aditya Perdana selaku Dosen Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI menjelaskan, “begitu banyak persoalan terjadi, banyak pelanggaran etika dalam pemilu yang terjadi dalam periode 2013-2017. Saya akan memaparkan beberapa kasus yang terjadi di empat daerah di Indonesia maupun diluar Indonesia yakni Aceh Barat Daya, Nias Selatan, Jayapura, Karawang dan Malaysia”.

Pertama terjadi di Aceh Barat Daya, ketua KIP (Komite Independen Pemilu) Aceh Barat Daya, M. Ja’far di berhentikan secara tetap oleh DKPP karena terbukti melanggar etika kemandirian yakni pernah menjabat sebagai salah satu pengurus Partai Aceh dalam proses seleksi penyelenggara pemilu. Disamping itu Ja’far pernah menjadi tim sukses salah satu kandidat di Aceh Barat Daya.

Aditya menambahkan, “setelah itu Ja’far dipecat oleh DKPP pada tahun 2016. Dalam temuan kami, Ja’far memang tidak menyatakan sebagai titipan dari Partai Aceh yang memang sengaja dilakukan untuk persiapan pemilu karena sepenuhnya keinginan pribadi. Namun kami beranggapan berbeda karena proses seleksi yang juga sepenuhnya melibatkan anggota DPRA tentu sulit dibantah adanya keterlibatan partai dalam penentuan komisioner terpilih tersebut”.

Kedua terjadi di Nias Selatan Panwaslu Kabupaten Nias Selatan merekomendasikan Pemungutan Suara Ulang di puluhan TPS dalam pemilu 2014 lalu. Bawaslu RI juga melakukan monitoring secara langsung terhadap Kabupaten Nias Selatan dan sempat merekomendasikan untuk PSU di Kabupaten Nias Selatan secara keseluruhan.

Akhirnya masalah pemilu di Kabupaten Nias Selatan diputuskan dengan penghitungan suara ulang. Pelaksanaan penghitungan suara ulang juga masih bermasalah karena tidak dilakukan sebagaimana rekomendasi panwaslu. Rapat pleno rekapitulasi suara tingkat kabupaten juga dianggap tidak transparan.

Ketiga terjadi di Jayapura, ada pertarungan dan kompetisi elite sebelum Pilkada Kabupaten Jayapura diadakan pada tahun 2017. Bupati petahanan yang mencalonkan kembali diduga oleh lawan politiknya yaitu Ketua DPD Gerindra Jayapura melakukan mobilisasi dukungan di hari pemilu dan sebelumnya yakni melakukan pergantian petugas PPD (distrik) dan juga KPPS secara mendadak yang tanpa diketahui oleh KPUD.

Sementara itu Bupati juga menduga bahwa lawan politiknya melakukan intervensi kepada para penyelenggara (KPUD dan Panwas) dengan melakukan pendekatan personal yang sudah dipersiapkan secara matang. Berdasarkan hasil pertemuan dengan kedua belah pihak, memang terlihat adanya kepentingan untuk saling menjatuhkan masing-masing dalam proses Pilkada yang memang diakhiri dengan pelaksanaan pemungutan suara ulang.

Keempat terjadi di Karawang, seorang Caleg Perindo untuk DPR RI Dapil Karawang menyatakan bahwa ia telah memberikan uang sebesar enam ratus juta kepada 10 dari 12 Kecamatan yang dibantu salah seorang Komisioner KPUD Kabupaten Karawang. Pernyataan caleg ini kemudian dilaporkan kepada DKPP untuk kemudian diproses lebih lanjut.

“Setelah kami temui, indikasi yang ada menunjukan sosok sebagai broker politik yang ditampilkan oleh Komisioner KPUD tersebut untuk membantu pemenangan caleg tersebut. Namun ternyata hasil perhitungan suara berkata lain dan tidak memenangkan caleg tersebut. Caleg ini menyatakan kecewa dan membuka semua transaksi yang terjadi. Temuan kami memperkuat apa yang terjadi dalam pelaporan media bahwa memang terjadi transaksi dan tidak semua pihak terlibat dalam persekongkolan didalam tubuh KPUD Karawang” ungkap Aditya.

Kuala Lumpur, Malaysia menjadi tempat terjadinya pelanggaran etika pemilu di luar Indonesia, kasus ini bermuncul adanya penyebaran informasi terkait temuan sejumlah kantong surat suara yang telah dicoblos di beberapa lokasi di Kuala Lumpur dua hari sebelum pelaksanaan pencoblosan Pemilu 2019 dilaksanakan. Setelah ditelusuri oleh pengawas pemilu, dugaan tersebut secara resmi dilaporkan kepada pusar dan menyatakan bahwa pencoblosan itu benar adanya.

Kategori Target Audience: 
Kategori Konten: 
Sumber Informasi: