Menjembatani Gap Teori dan Praktek Politik Luar Negeri

 

Menjembatani Gap Teori dan Praktek Politik Luar Negeri

Bagi sebagian masyarakat atau kalangan, Politik Luar Negeri (Polugri) mungkin lebih dianggap sebagai pengetahuan umum seperti halnya Hubungan Internasional (HI). Isu-isu Polugri dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai media massa, baik internasional, nasional maupun lokal sekalipun. Dengan mengikuti pemberitaan di media massa, meskipun hanya satu atau dua, seringkali mereka merasa sudah mengetahui atau memahami Polugri atau HI  secara umum. Tidak ada yang salah dengan anggapan ini. Pertama, karena isu-isu Polugri memang dekat dengan masyarakat dan merupakan bagian dari hidup sehari-hari. Kedua, menunjukkan besarnya minat terhadap Polugri, karena kesadaran bahwa Indonesia tidak bisa hidup sendiri. Ketiga, dengan kesadaran yang lebih dan dapat menyadari bahwa baik Polugri bisa membawa dampak dan ramifikasi yang luas, termasuk ke bidang lain, seperti perdagangan dan pariwisata. Keempat, dengan kesadaran itu pula masyarakat akan dapat memahami bahwa Polugri juga bisa menentukan masa depan negara kita.

Demikian diungkapkan oleh Drs. Dian Wirengjurit, MA. dalam paparan Orasi Ilmiahnya dengan tema “Politik Luar Negeri dan Pelaksanaannya: Menjembatani Gap Teori dan Praktek Hubungan antar Negara dalam Upaya Pembelajaran Masyarakat.” Orasi Ilmiah ini diselenggarakan dalam rangka Dies Natalis FISIP UI ke-49 dan bertempat di Auditorium Juwono Sudarsono Kampus UI Depok pada Rabu (1/2/2017).Drs. Dian Wirengjurit, MA. merupakan Diplomat Utama, Duta Besar RI untuk Republik Islam Iran dan Turkmenistan (2012-2016), Alumnus FISIP UI Tahun 1997.

Dalam paparannya, Dian mengatakan bahwa diakui atau tidak, disadari atau tidak, dengan “pengetahuan” ala kadarnya dari media massa membuat mereka menganggap telah menguasai Polugri dan HI. Maka tidak heran apabila banyak orang dari berbagai latar belakang ilmu dan profesi yang merasa tau, paham, dan otomatis bisa mengupas dan menganalisa Polugri. Ini akan menjadi semakin “runyam” dengan munculnya “pakar dadakan” dari luar domain politik luar negeri dan diundang untuk berbicara tentang topik ini di media massa. Akibatnya, suatu isu internasional seringkali berkembang menjadi “bola liar.”

Dian menambahkan, pengetahuan dan pemahaman tentang Polugri tidak dapat diperoleh secara instan dari media massa sehari-hari. Analisa mengenai Polugri hanya dapat dilakukan dengan dua bekal dasar: 1) ilmu dan pengetahuan akademik yang diperoleh di pendidikan tinggi (universitas); dan 2) pengalaman diplomasi dalam hubungan antar negara (bilateral) dan dalam organisasi internasional (multilateral). Penguasaan salah satu “kaki” hanya akan membuat analisa Polugri menjadi timpang atau tidak akurat. Sudah waktunya, semua pemangku kepentingan yang terkait perumusan sampai pelaksanaannya memahami perlunya landasan ilmu/teori dan praktek/pengalaman diplomasi agar pelaksanakan tugas sesuai jelas arah dan tepat sasaran. Untuk itu dunia perguruan tinggi dan Kementerian Luar Negeri serta pemangku kepentingan lain bekerjasama dalam menyusun kurikulum mengenai HI yang komprehensif, dengan tenaga pengajar yang juga memiliki “jam terbang” yang tinggi.

Di lain pihak, masyarakat pun diharapkan dapat mendapatkan informasi dan analisa yang logis dan akurat sehingga “hiruk pikuk” hubungan antar negara yang berkepanjangan dapat dihindari. Sudah waktunya juga masyarakat “mendapatkan pengajaran” dalam hal pelaksanakan Polugri dan “mendapatkan pengetahuan” yang bermanfaat dari analisa yang bermutu dari media massa. Sebaliknya, media massa juga sudah seharusnya meningkatkan kinerjanya dengan menyampaikan analisa dari pakar-pakar yang sebenarnya, dan bukan lagi asal “dadakan” atau “asal comot”.

Dalam penutupan orasinya, Dian memberikan masukan agar semua profesi saling menghormati dan menghargai profesi lainnya. Perlu disadari bahwa setiap profesi memerlukan pendidikan dan latihan yang panjang dan bertahap, serta jam terbang yang tinggi untuk menjadi mumpuni. Tidak ada profesi yang bisa ditekuni dalam waktu sekejap. Marilah kita tekuni profesi masing-masing yang sudah menjadi pilihan hidup kita.Hanya dengan hal-hal inilah seluruh pemangku kepentingan akan dapat berkontribusi untuk memajukan pelaksanaan Polugri. Sementara masyarakat juga akan dapat dicerdaskan, sehingga tidak terjadi lagi pemborosan energi, pikiran, dan waktu untuk pembahasan Polugri yang tidak bermanfaat dan sia-sia,” ungkap Dian.

 Orasi ilmiah ini dihadiri juga oleh Prof.Dr.Ir. Muhammad Anis, M. Met. (Rektor Universitas Indonesia), Dr. Arie Setiabudi Soesilo, M.Sc. (Dekan FISIP UI), Prof. Isbandi Rukminto Adi, M.Kes., Ph.D. (Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FISIP UI), Dr. Titi Muswati Putranti, M.Si (Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura, dan Administrasi Umum FISIP UI), para Dekan dan Wakil Dekan Universitas Indonesia, Sivitas Akademika FISIP UI, dan alumni FIS U Angkatan tahun 1977.

 

 

Kategori Target Audience: 
Kategori Konten: