Ari Kuncoro: Harga, Substitusi, dan Daya Beli

 

Ari Kuncoro: Harga, Substitusi, dan Daya Beli

Harga, Substitusi, dan Daya Beli

Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia

 

KOMPAS – (5/4/2022) Dalam teori ekonomi, dikenal kurva penawaran yang secara konsep serupa, tetapi tak sama dengan kurva penawaran yang lazim. Kurva ini diturunkan oleh ekonom Inggris, Edgewoth dan Marshal (Salvatore,2001), untuk menjelaskan perdagangan internasional, tetapi dapat digunakan untuk kasus transaksi mikro.

Kurva itu menggambarkan hubungan harga relatif atau term of trade dengan posisi apakah suatu negara atau individu akan jadi eksportir/produsen bersih atauimportir/konsumen bersih.

Jika produksi melebihi konsumsi, selisihnya adalah surplus yang dapat diekspor. Sebaliknya, jika produksi lebih kecil, selisihnya impor. Suatu negara dapat beralih dari importir bersih ke eksportir bersih bergantung pada term of trade, perubahan teknologi/produktivitas, dan preferensi penduduknya.

Kasus gandum

Konflik Ukraina-Rusia menyebabkan 31 persen pasokan gandum dunia terganggu. Ukraina menghasilkan 25 persen gandum dunia, sementara sisanya oleh Rusia. Kenaikan harga gandum mencapai 56 persen di pasar internasional, yakni dari sekitar 8 dollar AS menjadi 12,4 dollar AS per gantang (bushel), sejak perang berkecamuk.

Sebelumnya, harga gandum India lebih mahal dari pasar internasional sehingga sulit menembus ekspor. Namun, seiring perubahan itu, terjadi efek substitusi produksi sehingga India dapat masuk lebih dalam ke rantai pasok dunia.

Dalam kasus ekspor gandum India, efek harga di dalam negeri terbatas karena ruang substitusinya luas. Bahan pangan pokok dan selera masyarakatnya bervariasi. Tak hanya gandum, tetapi juga beras, kentang, dan biji-bijian lain. Selain itu, surplus berlimpah, produsen terdesentralisasi, dan pemerintahnya menjadikan gandum sebagai bagian dari stok pangan nasional melalui institusi mirip Bulog. Usaha mengendalikan dampak kenaikan harga gandum dunia ke dalam negeri lebih mudah.

Kasus minyak goreng

Kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) sudah terjadi sejak akhir 2021 atau sebelum perang Rusia-Ukraina. Kenaikan itu disebabkan oleh meningkatnya konsumsi negara-negara berpopulasi besar, seperti China dan India, seiring pemulihan ekonomi. Tekanan tambahan berasal dari konflik di Eropa. Ukraina adalah produsen minyak biji bunga matahari.

Supermarket di Eslandia, misalnya, dengan langka dan naiknya harga minyak bunga matahari, terpaksa berkompromi dengan posisinya yang anti minyak sawit dengan memajang kembali minyak nabati berbasis sawit di rak-rak gerainya. Dampak sampingan dari efek substitusi ini adalah kenaikan harga CPO di pasar internasional.

Di setiap negara, kenaikan harga di pasar dunia merupakan godaan untuk mengekspor. Kebijakan yang dipilih saat ini adalah mengurangi diskrepansi harga dalam dan luar negeri melalui peningkatan tarif bea keluar ekspor sejak 21 Maret dan bukan restriksi ekspor.

Walaupun ada faktor lain yang berpotensi menekan harga, seperti penguncian di China dan resesi dunia, dengan pilihan kebijakan dari Indonesia dan Malaysia yang pangsanya 85 persen produksi dunia, perbedaan harga CPO di dalam dan luar negeri mengecil. Harga CPO internasional turun dari titik tertingginya 7.200 ringgit per ton pada Maret menjadi 5.450 ringgit per ton atau sekitar 33 persen pada awal April.

Ruang substitusi

Patut dicatat, harga internasional CPO tetap tinggi karena kelangkaan minyak biji bunga matahari. Hal ini membuat harga CPO domestik tetap tinggi dan membebani kelompok rentan. Antrean panjang minyak goreng curah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kelompok rentan mempunyai ruang substitusi yang terbatas karena tidak banyak alternatif.

Produk-produk minyak nabati yang diproduksi usaha mikro dan kecil di pelosok desa yang merupakan bagian kearifan lokal pra-kejayaan minyak sawit, seperti minyak kelapa, hilang atau langka karena kalah bersaing. Kalaupun tersedia, kini sudah menjadi produk premium, seperti virgin coconut oil (VCO).

Akibat globalisasi, CPO telah menjadi traded good internasional yang menghasilkan devisa. Namun, pada saat yang sama, sebagai salah satu kebutuhan pokok di dalam negeri, CPO tetap memerlukan perhatian serius. Pasar dalam dan luar negeri tetap tak dapat disekat (separating equilibrium) dengan sempurna jika ada perbedaan harga yang tinggi.

Mengisolasi perkembangan harga internasional terhadap domestik tidak mudah. Kenaikan harga memberikan sinyal substitusi dan penghematan bagi konsumen. Sementara bagi produsen adalah meningkatkan produksi, termasuk pemain baru produsen produk-produk substitusinya. Bagi masyarakat, hal ini dapat berupa perubahan cara pengolahan makanan yang menghemat minyak goreng sawit.

Efek diversifikasi adalah memperluas ruang substitusi sehingga dampak terhadap kesejahteraan rumah tangga atau individu diminimalkan. Selain mengurangi perbedaan harga internasional dan domestik, penghapusan harga eceran tertinggi (HET) mempunyai efek menjaga insentif bagi produsen produk-produk substitusinya.

Operasi pasar dapat dilakukan untuk membuat pasar tetap contestable dan memberikan pilihan lebih luas bagi kelompok rentan. Namun, pengawasan harus dilakukan dan inilah yang sering menjadi kendala di lapangan.

Kebijakan pendamping yang dibutuhkan ialah menjaga daya beli masyarakat rentan dengan mengoreksi efek pendapatan yang negatif melalui bantuan langsung tunai (BLT), yang selain menjaga kesejahteraan juga memberikan pilihan.

 

Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa,5 April 2022. Rubrik Analisis Ekonomi-.Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.

Kategori Target Audience: 
Kategori Fakultas: 
Kategori Konten: